Menyoal Zoophilia: Orientasi Seksual Baru?
Pada hari Selasa lalu, tepatnya tanggal 8 Juni 2021, saya mengikuti mata kuliah Antropologi Gender dan Seksualitas. Hari itu pembahasan berporos pada topik seksualitas manusia dan nonmanusia, tetapi sebagian besar pembahasan berfokus pada fenomena zoophile. Istilah zoophile merujuk pada manusia yang mengidap zoophilia. Zoophilia sendiri merupakan sebuah kelainan seksual manusia yang melibatkan ketertarikan erotis kepada hewan dan hasrat berlebih untuk melakukan aktivitas intim bersama hewan.
Pembahasan yang tidak biasa ini akhirnya berhasil memantik sebagian besar mahasiswa untuk membagikan informasi dan pengetahuan yang mereka miliki mengenai fenomena zoophile. Sebagian membagikan temuan dan testimoni pengidap zoophilia, sementara sebagian lainnya bertanya tiada henti mengenai asdikamba fenomena ini. Salah satu informasi yang menurut saya sangat menarik dan aneh di saat bersamaan adalah kisah mengenai hubungan seksual yang terjadi antara seorang pria bernama Malcolm dan seekor lumba-lumba betina bernama Dolly yang dibagikan oleh salah seorang anggota kelas. Malcolm yang kala itu adalah seorang fotografer mendapatkan kesempatan untuk mengambil gambar di sebuah taman hiburan di Florida—tempat Malcolm bertemu dengan Dolly. Malcolm mengklaim bahwa hubungan asmara keduanya dimulai oleh Dolly yang menggoda Malcolm dengan cara menempelkan tubuhnya dan melakukan gesekan pada saat ia berusaha mengambil foto Dolly. Sejak saat itu, secara konsisten, selama hampir satu tahun keduanya melakukan hubungan seks hingga akhirnya taman hiburan tersebut ditutup dan keduanya dipisahkan secara paksa. Perpisahan ini kemudian berdampak ekstrem bagi kedua belah pihak. Malcolm mengalami depresi berat dan hingga kini tidak dapat pulih dari kelainannya tersebut. Di sisi lain, Dolly memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan menahan napas di dalam air dan tenggelam. Hal tersebut diduga akibat patah hati luar biasa karena dipisahkan dengan Malcolm.
Sepanjang pembahasan, saya hanya menyimak dan di saat yang bersamaan mencari berbagai informasi lebih lanjut mengenai zoophilia melalui mesin pencari. Berbagai cerita yang serupa dengan kisah Malcolm dan Dolly dibagikan pada kelas tersebut. Hingga, di penghujung kelas, di pikiran saya muncul satu pertanyaan yang sangat ingin saya ketahui jawabannya. Saya melihat kesamaan pola kemunculan zoophilia dan homoseksualitas (LGBTQ+). Di fase awal kemunculannya, homoseksualitas dinilai tabu dan dianggap sebagai sebuah kelainan, tetapi kini telah dinormalisasi—bahkan dirayakan—dan dinarasikan bahwa homoseksualitas merupakan hal yang alamiah (bawaan lahir), bukan lagi sebuah kelainan.
Saya menanyakan hal tersebut kepada dosen pengajar, “Mbak, apa ada kemungkinan bahwa, sama seperti homoseksualitas, zoophilia akan dianggap sebagai sesuatu yang natural di masa depan? Tidak lagi dianggap sebagai suatu kelainan?”, kemudian dosen saya menjelaskan mengenai animal movement di Jerman ketika satu partai politik yang fokus dan lantang menyuarakan dan mengadvokasi kepentingan hewan. Di sisi lain, partai tersebut juga mengamini adanya kesetaraan hewan dan manusia yang menyiratkan adanya perjuangan atas hak-hak zoophiles. Dosen saya kemudian menutup penjelasannya dengan kesimpulan bahwa terdapat kemungkinan bahwa di masa depan zoophilia akan dianggap sebagai orientasi seksual baru, alih-alih sebagai kelainan seksual.
Pembahasan yang sangat menarik, ‘kan? Kalau menurut Tim Nara yang lain bagaimana? Sepakatkah dengan opini dosen saya?
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 5 / 5. Jumlah rating: 1
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.