Saat kalimat pertama ini saya tik, waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Saya dihadapkan oleh dua pilihan: tidur karena besok mesti berangkat subuh ke Jakarta atau melanjutkan menulis swalatih karena Mbak Cenna sudah begitu giat memberi pengingat. Saya memutuskan untuk memilih yang kedua. Saya sudah biasa menghadapi macetnya jalan tol menuju Jakarta akibat saya telat berangkat. Namun, saya enggan membayangkan kecewanya Mbak Cenna karena sedikit orang yang mengumpulkan swalatih.

Saya akan mulai paragraf kedua ini dengan kenyataan bahwa saya sedang kedinginan. Entah kenapa, saya merasa malam ini lebih dingin daripada malam kemarin. Mungkin karena di luar sedang hujan. Mungkin juga karena saya sedang mengingat sebuah kenangan.

Di kepala saya sekarang, rangkaian adegan kembali menjejal. Seperti hantu, mereka datang lalu lenyap, meninggalkan bekas yang kebas. Bekas itu yang kini akan saya bagikan.

Dulu, saya mempunyai seorang tokoh yang kerap membuat saya (sedikit) kuat. Saya hampir tidak pernah menyerah menghadapi lelah karena teori-teori miliknya. Salah satu teorinya dinamai teori bungkus permen.

“Ujian, musibah, atau masalah itu ibarat bungkus permen,” ujarnya.

Ia lalu menambahkan dengan sebuah pertanyaan, “Gini, deh. Lebih pilih dikasih permen yang ada bungkusnya atau nggak ada bungkusnya?”

“Ya yang ada bungkusnya, lah,” saya spontan menjawab.

“Kenapa?” tanyanya lagi.

“Kalau nggak ada bungkusnya nanti permennya kotor kena debu,” jawab saya.

“Nah, itu. Bungkus permen ibarat cobaan, ujian, atau masalah. Kita butuh bungkus permen. Kita perlu buka bungkus permen dulu buat menikmati permennya. Kita perlu melewati cobaan yang Tuhan kasih dulu buat menikmati hasilnya dan menikmati bahagianya. Itu sepaket,” jelasnya.

Begitulah kira-kira. Setelah itu sepi, kami kembali berbicara dengan pikiran masing-masing. Lalu, saya dapati diri saya sedang tersenyum di depan tulisan ini. Tentu, tanpa tokoh yang saya ceritakan sebelumnya. Meski sekarang tokoh itu tak lagi membersamai saya, teori bungkus permennya akan selalu saya ingat kalau-kalau saya sedang diberi ujian.

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 4.7 / 5. Jumlah rating: 7

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.