Pesan Kasih Sayang
Sebelum meninggal, Ibu kerap berpesan agar aku selalu menjaga hubungan baik dengan semua saudara tiriku dan setiap Ibu menyampaikan pesannya itu, aku selalu menganggukkan kepala sebagai tanda mengiyakan kata ibu.
Ibu kini sudah tenang. Ia tidak perlu lagi membuatkan teh yang jarang diminum oleh Bapak pada pagi hari. Ibu tidak perlu mencucikan baju Mas Adip, Nabila, dan Dito. Entah rasa sedihku saat itu, kini sudah aku ikhlaskan. Lamunanku buyar. Kulihat Bapak mengenakan pakaian rapi, bersiap untuk pergi.
“Bapak mau ke mana?”
“Bapak ada acara di kampung sebelah. Kamu jaga rumah dulu.”
Aku duduk di depan teras rumah menantikan Mas Adip datang. Biasanya, pukul lima sore dia akan segera tiba. Benar saja, tidak berselang lama kakakku datang.
“Halo, Mas.”
“Ini. Kamu bagi dengan Nabila dan Dito, ya.”
Kali ini ia membawa kue warna-warni. Mas Adip bekerja sebagai syef di restoran depan gang rumahku. Seperti biasa, aku berusaha mengajak Mas Adip mengobrol, tetapi tidak dihiraukannya.
“Mas Adip …”
“Mas, Ibu sudah pergi. Mas Adip, aku harus bagaimana? Mas Adip, jadi mau nguliahin aku?”
Aku hanya terdiam dan menahan diri. Emosi jiwa mengajak ngobrol makhluk satu ini. Akhirnya aku putuskan untuk menghampiri Dito di kamarnya. Belum sempat masuk kamar, Nabila tiba-tiba memanggilku.
“Mas Zahran.”
“Iya, ada apa?”
“Mas, ada uang, nggak? Aku takut minta uang lagi ke Mas Adip.”
“Nggak ada, Nab. Kamu tahu, ‘kan, aku belum punya pemasukan?”
“Ah, Mas Zahran payah juga.”
Nabila berlalu meninggalkanku. Aku khawatir perilaku Nabila yang sering minta uang ditiru oleh Dito. Belum sempat menghampiri ke kamarnya, tiba-tiba Dito sudah berada di sebelahku.
“Mas Zahran.”
“Iya, Dit. Udah kenyang makan?”
“Udah, Mas. Dito kok sedih, ya, lihat perilaku Mas Adip ke Mas Zahran. Mas jadi mau kuliah, ‘kan?”
“Mas Adip belum kasih jawaban, Dit.”
Dito tiba-tiba menggandeng tanganku dan mengajak masuk ke kamarnya. Dia mengeluarkan tumpukan kertas yang mirip brosur lalu diserahkan semuanya padaku.
Aku kembali ke kamar dan mulai membaca satu per satu. Rasa semangatku kembali bangkit melihat ini. Aku tidak menyadari ada beasiswa yang bisa jadi perantaraku kuliah.
“Ibu, restui anakmu. Bismillah.”
Pagi harinya, seperti biasa aku membersihkan teras rumah. Aku berhenti sejenak karena melihat Bapak sedang berjalan ke arahku.
“Zahran ini uang bulanan kamu,” Bapak menyodorkan uang lembaran warna merah berjumlah dua.
“Pak, doakan Zahran bisa kuliah. Zahran ingin berjuang lewat beasiswa. Kalau nanti dapat, Zahran nggak perlu bayar buat kuliah.”
Entah pikiran dari mana, aku refleks meminta doa Bapak. Ucapanku disambut dengan usapan rambut. Bapak memang terlihat pasif. Aku terima semua perilaku yang Bapak berikan terhadapku. Bagaimana pun sosok Bapak pernah membuat Ibuku mendapatkan senyumannya kembali.
Pengumuman itu tiba. Usahaku membuahkan hasil. Aku berhasil diterima di Universitas Gajah Mungkur. Kulihat Mas Adip sedang duduk santai di teras. Aku berniat memberikan kabar bahagia ini.
“Mas Adip.”
“Ya. Ada apa?”
“Aku sekarang resmi kuliah, Mas. Aku dapat beasiswa.”
Ucapan selamat yang aku harapkan ternyata hanya sebuah ekspektasi. Ya, dia hanya tersenyum sebentar lalu pergi. Hubungaku dengan Mas Adip sudah tidak baik sejak awal. Saat Ibu mengenakan pakaian pengantin, raut muka Mas Adip seolah membenci keadaan itu. Aku tidak tahu mengapa. Hanya saja, sebelum pergi, Ibu pernah bercerita bahwa ibu kandung Mas Adip sudah meninggal sejak kecil. Aku memaklumi. Mungkin ini merupakan jalan hidup yang keras untuk Mas Adip hingga membentuk karakter dirinya seperti saat ini.
Andai saja saat itu Ibu tidak berpesan untuk menyayangi saudara-saudara tiriku, mungkin aku sudah bodo amat dan memilih kabur dari rumah. Pesan Ibu-lah yang masih membuatku bertahan di keluarga hampa ini. Toh, sebentar lagi aku akan tinggal di asrama kampus. Bahuku seperti ada yang menepuk. Ternyata Dito sudah berdiri di belakangku. Ia membuyarkan lamunanku.
“Mas Zahran mikirin apa? Aku mau bilang selamat, ya, Mas!”
“Terima kasih, Dit. Jangan sedih, ya, nanti aku tinggal.”
“Mas, aku punya tekad yang kuat sejak ada Mas Zahran. Aku juga punya mimpi yang sama buat kuliah nanti. Biar aku susul Mas Zahran nanti.”
“Siap. Kamu jaga belajarmu, ya. Mas Zahran titip Nabila sama Mas Adip. Tolong diajak ngobrol biar nggak diem-dieman di rumah. Mas sedih lihat hubungan kalian bertiga.”
Pesanku kepada Dito direspons dengan anggukan dan kami saling berpegangan untuk sama-sama menguatkan. Aku tanpa sadar terkejut melihat Bapak sudah menyiapkan segala kebutuhanku berkuliah. Kaget tiba-tiba Bapak memeluk sambal membisikan sebuah pesan yang benar-benar membuatku tertegun.
“Ibumu pasti tersenyum melihat mimpi kamu sudah tercapai. Jangan kecewakan Ibu. Satu hal lagi, Bapak mohon maaf jika kurang baik mengurus kamu.”
Aku pamit dengan perasaan lega. Janjiku kepada Ibu dan Bapak akan aku tunaikan. Semoga setelah peristiwa ini, Mas Adip dan Nabila bisa menerimaku dengan baik.
Ya Tuhan, aku mohon kabulkan harapanku untuk keluarga kecil ini.
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.