Harum tanah selepas hujan menyergap masuk ke beranda. Ia datang diantar embus angin. Kulihat, ia tidak sendiri. Ada rasa kalut yang mengekor di belakang. Tatkala mereka mampir, kerjaku hanya diam sebab tak kuat untuk mengusir. Dalam helaan napasku, mereka menyatu dengan ingus yang tak bisa kubendung.

Sejam sebelumnya, ponselku berbunyi karena panggilan masuk. Kuangkat, kulayani suara yang terdengar dari seberang sana, lantas kututup sembari menyimpan dengan rapi perihal yang kami perbincangkan. Aku ingat betul betapa gigihnya suara itu meminta hal yang selama ini selalu kuberi. Aku bisa jamin kegigihannya itu sebab setelah telepon kututup pun ia masih mengirimiku pesan teks. “Maaf, ya,” tiknya.

Seminggu sebelumnya, batinku lebih tercekat daripada hari ini. Kala itu, aku berpikir lebih dari sekali untuk memberi maaf yang kupunya. Pada proses pikir yang ketiga, aku menyetujui permintaan mereka. Kukeluarkan maafku. Suara-suara yang sebelumnya penuh rasa sesal berganti menjadi suara-suara yang bernada lega. Suara-suara itu menyuguhkanku terima kasih. Kubalas dengan emoji peluk tanpa teks pengiring.

Setahun sebelumnya, aku pernah berprinsip bahwa pada akhirnya yang kita perlu lakukan hanyalah menerima. Aku ingat betul, “tidak apa-apa” atau “bukan masalah” ialah frasa yang kerap kubagikan tanpa syarat. Terkadang, keduanya diiringi dengan emoji bertema positif. Perlahan, itu menjadi templat andalanku kala ada wacana yang menyakitkan.

Beberapa rekanku menyebutku bodoh. Barangkali mereka ada benarnya, barangkali tidak. Tiap kali mereka menghakimi kebodohanku, ingin sekali kucoba mencari celah. Namun, urung. Aku tidak mampu berkata-kata untuk menjelaskan bahwa tidak ada manusia yang tidak pernah berbuat salah, termasuk mereka. Meski benar aku bodoh, bukan berarti aku tidak pernah merengek pada Tuhan kala satu maafku keluar. Hatiku juga kerap remuk rengsa.

Belum usai harum tanah selepas hujan ini bertamu, kudengar ponselku berbunyi kembali. Kali ini, bukan panggilan masuk, melainkan pesan teks biasa. Kubuka lekas-lekas, kubaca, dan kudapati emoji tangan tertangkup pada akhiran pesan. Sialan. Spontan kepalaku mendidih. Aku belum siap mengeluarkan satu persediaan maaf lagi. Bagaimana jika nanti persediaan maafku habis? Apakah Tuhan bersedia mengisi ulang dan membangun hati yang lebih lapang?

 

Penulis: Dessy Irawan

Penyunting: Ivan Lanin

 

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 5 / 5. Jumlah rating: 2

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.