Saya meyakini seseorang perlu belajar dari hal terdekatnya. Begitu banyak hal yang tak perlu jauh-jauh ditimba dan dirasuki. Kita perlu mendekap yang akrab dan mengerat yang lekat. Hal jauh malah tak perlu dipelajari, justru baiknya mengajari. Setidaknya itu menurutku.

Belajar adalah kerasukan. Merasuki diri pada hal-hal sekitar ternyata serupa bujukan untuk memikirkan hal yang justru tidak perlu susah payah disatutubuhkan. Tubuh itu sendiri adalah ajaran. Ia bukan hal luar. Ia sudah melekat tak terhindarkan.

Saya belajar dari hati. Ia membelah diri memecahkan seluruh bagan emosi. Mengaturnya lebih sulit dibanding “merasa” itu sendiri. Membantahnya adalah hal yang kian sulit lagi. Tentu, yang bisa dilakukan hanya menerima dan menatanya untuk tak menyakiti tubuh lainnya walaupun, sebaliknya, tubuh lain yang paling mungkin menyakiti hati.

Saya belajar dari otak. Ia bisa berkecamuk membentuk skenario paling buruk sampai paling baik. Ia bisa membunuh mimpi, membunuh laku, dan membunuh hati itu sendiri. Sulit mengikuti otak tanpa membunuh yang lain. Namun, yang kuyakini, lebih baik membunuh sesuatu dibandingkan dengan menghentikan amukan otak. Keputusan terbaik selalu dihasilkan dari otak yang matang dan dewasa. Dengan bijak begitu, mestinya amukan otak tidak bisa membunuh yang lain, termasuk mimpi, laku, dan hati.

Saya belajar dari mulut. Ia bisa berbicara tak terduga bagi telinga. Lebih gawat, mulut yang kotor dapat melangkahi gendang telinga, menikam langsung ke hati. Lebih mujarab, mulut yang manis justru menyembuhkannya.

Saya belajar dari tangan. Ia bergerak menolong tanpa henti, menjadi organ yang penting untuk memeluk seluruh tubuh yang nyeri. Tugasnya hanya satu: menjelma dekap paling peluk menjumpai rumah paling pulang.

Saya belajar dari kaki. Ia mengejar mimpi, melakukannya sesuka hati, serta menapaki jalan tak kenal lelah. Sepanjang titian, ia hanya tahu berjalan tanpa menunda. Jika lelah, ia memaksa. Jika terpaksa berhenti, ia hanya menunda.

Saya belajar dari seluruh tubuh yang dapat lemah dan dapat kuat, rapuh dan kokoh, yang membesar padahal kecil. Terima kasih, tubuhku. Kamu tidak begitu hebat, tapi saya utuh. Meski kamu kadang berengsek, cuman kamu yang saya punya. Baik-baik dalam mendewasa, ya.

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.