Pertama untuk Segalanya
Juni 2011. Pertama kalinya saya berangkat ke sekolah tanpa meminta uang dari orang tua saya. Remeh kelihatannya, tetapi momen itu nyatanya masih melekat di pikiran saya. Kala itu, saya berhasil menabung sisa uang jajan saya dari hari Senin sampai Jumat, selama 4 pekan berturut-turut. Uang tabungan itu, kemudian saya belikan sebuah pakaian, yang kemudian saya jual. Tak disangka, keuntungannya cukup besar. Sebagai manusia berumur 13 tahun, sungguh menyenangkan sekali memegang uang lebih apalagi dari hasil “bisnis” sendiri.
Maret 2009. Saya, pertama kalinya, memberanikan diri berangkat ke sekolah sendiri dengan sepeda roda dua pertama saya yang dibelikan Ayah saya. Saya ingat betul mengapa saya tertantang melakukan pengembaraan itu. Suatu hari, tetangga saya datang ke rumah. Melihat sepeda baru saya, ia memandang dan bertanya,
“Kenapa nggak naik sepeda sekolahnya? daripada naik angkot bayar Rp2.500,00, lebih baik naik sepeda, cuma beli es aja Rp1.000,00, kan?” ujar tetangga saya itu.
Saya pikir, iya juga.
Keesokan harinya, saya berangkat ke sekolah naik sepeda. Bangga sekali rasanya sampai 10 menit sebelum bel berdering, memarkir sepeda saya, dan membeli es susu sebagai “bahan bakar” saya.
“Yes! bakalan lebih hemat, nih!” seru saya dalam hati, girang karena saya bisa menabung lebih banyak.
Satu hal yang saya lupakan: saya pulang sekolah pukul 12.00 WIB, tepat ketika matahari berada di atas kepala. Penyesalan segera muncul ketika saya baru saja 25% berjalan untuk pulang ke rumah. Saking panasnya, di tengah perjalanan, saya membeli minuman dingin lagi. Kalau saya ingat kembali, sebenarnya sama saja biaya antara pulang sekolah naik kendaraan umum dan naik sepeda. Keesokan harinya, saya pilih cara lama: pulang sekolah dengan kendaraan umum.
Sepuluh tahun setelahnya, saya masih mengalami pertama kali-pertama kali yang lainnya. Pertama kali pergi ke ujung pulau sendirian, pertama kali pergi ke luar negeri sendirian, pertama kali tidak di rumah selama 1 tahun lamanya, dan banyak pertama kali-pertama kali lainnya. Saya sadar, terkadang pertama kali itu lebih sulit daripada terakhir kali. Melakukan suatu hal untuk pertama kalinya, artinya menghadapi sesuatu yang belum pernah kita ukur risikonya. Bukan hanya risiko kegagalan, tetapi juga risiko keberhasilan. Namun, saya yakin pula, selama dunia ini masih berputar dan belum berakhir, akan selalu ada “pertama kali-pertama kali” lainnya, kan?
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.