Perjalanan ke Tebing Tinggi
Pekan lalu, aku ke Tebing Tinggi. Kota dengan jarak tempuh tiga jam dari Kota Medan. Keputusan impulsif itu ku tempuh setelah melihat cerita Instagram sepupuku yang ternyata mudik bersama istrinya. Mereka mengambil cuti seminggu untuk kembali ke rumah orang tua mereka di Tebing Tinggi. Aku, yang memang sudah penat berhari-hari sendirian di rumah saja, memilih untuk menyusul mereka menggunakan kereta api. Singkatnya, kegiatanku Jumat lalu dimulai dari melihat cerita Instagram, mengirim pesan ke sepupuku bahwa aku akan menyusul, menelpon kedua orang tua (yang ternyata berdebat kecil karena ragu aku bepergian di masa pandemi), mengantongi izin (bersyarat), membeli tiket via aplikasi, membayar ke ATM, dan menuju stasiun.
Kalau ditanya kapan terakhir kali ke Tebing, sepertinya tahun lalu. Aku kurang ingat tanggal pastinya, yang kutahu perjalanan tahun lalu pun kutempuh sendirian juga. Bedanya, sekarang, semua orang bermasker dan menjaga jarak. Perjalanan di luar jadwal ini membuatku bersemangat lagi. Menerka-nerka akan jumpa siapa, ya, hari ini?
Memasuki gerbong kereta Siantar Express, ternyata sudah ada seorang ibu yang duduk di bangku yang berhadapan denganku. Tasnya besar, diletakkan disamping badannya. Dia sedang memegang kantong plastik berisi makanan, menyuap secara perlahan sambil melihat-lihat sekeliling. Maskernya ditarik hingga ke dagu. Ibu itu mendongak, menyadari aku yang memicingkan mata mencari nomor bangku.
“Duduk di sini, Dek?” tanyanya menyapa.
“Iya, Bu. Saya di 9C.”
Aku menunjuk bangku di depannya, menurunkan tas punggung dan duduk merapat ke arah jendela. Ibu itu melanjutkan makan siangnya. Terlihat cuek, tetapi suka bercerita, seperti ibu-ibu pada umumnya.
Sudah pukul 2.20 siang. Masih ada 20 menit lagi sebelum kereta berangkat. Aku yang sedang kelaparan buru-buru meletakkan tas dan mengambil roti persediaan yang kubeli sebelum memasuki gerbong. Kami sibuk masing-masing dengan makanan yang kami bawa. Setelah selesai, si Ibu beranjak dari kursinya, “Sebentar, la, ya. Kucarik dulu tempat sampah,” ujarnya padaku sambil membawa gulungan plastik sisa makanan. Aku yang sedang mengunyah sambil menatap keluar, reflek mengangguk. Seharusnya tidak perlu izin, tetapi ini adalah bagian dari etika.
Sekembalinya dari mencari tempat sampah, beliau kembali ke tempat duduknya,
“Nggak ada tempat sampah di sini, ya?” tanyanya padaku tiba-tiba. Aku mengangguk dan tersenyum saja. Mana kutahu, aku juga baru naik kereta api ini.
“Ibu mau ke mana?” aku mengalihkan pembahasan. Daripada membahas tempat sampah yang aku tidak tahu letaknya, lebih baik membahas sesuatu yang lain.
“Ke Asahan, Dek,” ujarnya membuka cerita. “Aku mau ke Asahan kian, tapi kan kereta api ini hanya sampai Tebing Tinggi. Kalau kereta api yang ke Asahan langsung, harus pakai rapid test. Ga sempat kuuruskan,” lanjutnya.
Aku mengangguk, “Oh, gitu, Bu. Jadi setelah ini nyambung kereta api lagi?”
“Maunya kek gitu biar enak, ya, kan. Tapi payah kali kalau pake surat itu. Nyambung kereta api juga pakai surat. Aku turun di Tebing aja terus lanjut naik bus, lah ke Asahan,” jelasnya dengan logat khas. Aku mengangguk setuju. Bepergian di masa pandemi memang tidak sebebas dahulu.
Percakapan kami berhenti karena beliau mengantuk. Dia undur diri dan pindah ke kursi sebelah yang lebih panjang dan kosong, mengkudeta satu kursi menjadi tempat ia rebahan. 10 menit menjelang keberangkatan, suasana gerbong memang masih lengang. Kukira, perjalanan ini pun aku sepi. Ternyata di menit-menit terakhir, banyak yang masuk ke gerbong kereta. Ada yang mengenakan kaus tentara, ada yang menjinjing tas yang besarnya dua kali lipat dari tasku, ada ibu menggendong bayi, dan ada juga kumpulan ibu dan anak yang sepertinya satu rombongan. Rombongan itu duduk berdekatan, anak-anaknya mengoceh sepanjang jalan. Ada juga seorang bapak yang duduknya beda dua kursi di depanku. Suaranya nyaring sekali. Aku bisa mendengar ia menyapa teman sebangkunya, menegur rombongan anak yang duduk bersama ibunya, bahkan percakapannya di telepon. Ah, aku bisa mendengar semuanya. Hari itu gerbong rasanya langsung ramai.
Meskipun sedikit was-was, tetapi bepergian sendiri tidak mengurangi esensi perjalanan. Bertemu orang-orang yang tidak dikenal, melihat masyarakat dari sisi yang lain, bahkan secara tidak sengaja mendapatkan informasi dari interaksi yang tidak disengaja, semuanya jadi pemanis perjalanan yang membuat candu.
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.