Semangkuk Harapan
Ibuku bilang perempuan harus bisa memasak setidaknya satu menu sepanjang hidupnya. Aku merasa tidak setuju, terlebih ketika hidup sudah nyaris-nyaris mirip di surga urusan lapar dan makan. Aku pun hanya mengangguk saat ibu memberi nasihat.
“Kamu kalau nurutin waktu sibukmu, ya, ndak bakalan kesampaian buat belajar masak. Sudah lama ibu ndak lihat kamu masak. Cucuku cerita, ibunya selalu pulang larut malam, ya, mana sempat buat masak.”
Aku hanya menghembuskan napas panjang. Kemudian, mengingat usiaku yang sudah hampir menginjak kepala tiga, memang belum pernah menghidangkan satu masakan pun untuk ibu. Waktuku habis untuk mewujudkan mimpi menjadi seorang dokter. Ibu sering menggerutu karena aku enggan untuk memasak. Berulang kali membujuk pun tidak pernah dihiraukan olehku.
Sampai di rumah, aku merebahkan tubuh di sofa. Anakku duduk di meja menunggu abang greb datang membawa makanan. Akhir-akhir ini, aku terbayang oleh ucapan ibu. Aku mencoba untuk menenangkan diri sembari menunggu suamiku pulang.
“Benar juga Ibu. Selalu aku mengelak untuk memasak. Apa yang salah dengan diriku? Waktuku habis dengan kerja, kerja, dan kerja, bahkan ibu minta aku masak saja belum kesampaian. Apa ini yang namanya berbakti?” gumamku.
Hari ini hari Minggu. Aku mengajak anakku untuk pergi berbelanja. Anakku yang masih kecil hanya menurut. Mungkin suamiku yang keheranan melihat istrinya tiba-tiba mau ke Pasar. Hasil catatan malam hari sudah kutulis pada selembar binder A5. Belum mulai belanja, anakku sudah rewel minta jajan.
“Mama… mau itu.”
“Bubur? Nanti kita ke sana. Sekarang bantu mama dulu. Bawa tas ini, ya, Nak.”
Aku mengelilingi penjual-penjual yang gencar menawarkan dagangan. Bukan hal sulit bagiku untuk menemukan bahan-bahan. Dahulu ibu sering mengajakku berbelanja kebutuhan dapur di pasar. Hanya saja, tidak pernah membantu memasak. Mataku melihat ke kanan dan ke kiri.
“Sudah selesai, Nak. Ayo, anak kesayangan Mama pasti sudah lapar. Kita ke tempat tadi, ya.”
Seketika muka anakku yang cemberut menjadi riang kembali. Aku mengingat sekilas warung bubur tempat berdiriku saat ini. Seperti ada memori lama yang terekam kembali.
“Enak, Ma. Mama besok buatin bubur di rumah, ya. Aku suka sum-sumnya, gula merahnya, sama ini,” tunjuknya menggunakan sendok mengarah ke bubur ketan hitam.
Aku hanya mengangguk sambil tersenyum. Mataku melihat sekeliling warung. Terdapat foto yang terselip di pinggiran tempat dudukku. Kulihat ada ibu di situ. Oh, ya Tuhan… benar saja sekarang aku ingat. Ini warung tempat ibu dahulu pernah bekerja. Mungkin usiaku kala itu sepuluh tahun. Samar-samar ingatanku muncul kembali. Semakin kuat niatku untuk memasak menu istimewa untuk ibu.
Sesampainya di rumah, suamiku ternyata telah menyiapkan alat-alat yang akan aku gunakan untuk memasak. Sebelum memasak, perasaanku tiba-tiba berdesir seperti ibu ikut hadir memperhatikan aku yang akan memasak. “Bismillah.” Aku memulai perlahan untuk memasak. Terdengar telepon berdering di sela-sela saat aku memanggang ayam yang baru saja diolesi bumbu lada hitam.
Air mataku menetes. Semakin lama semakin membanjiri pipiku. “Ibuuuuu….” batinku menjerit. Ibuku dikabarkan tiada. Semangkuk sayur lodeh dan ayam lada hitam kesukaan ibu ternyata menjadi hidangan penutup. Penutup harapan ibu untuk melihat anaknya memasak.
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.