Bucin yang Belajar Mengolah Rasa
Sontak saya kaget ketika diingatkan oleh Mbak Cenna tentang tulisan swalatih yang sudah lewat tenggat, padahal saya lagi khidmat mendengarkan materi dari Mbak Pire tentang “Olah Rasa”. Pikiran saya jadi terbelah antara mau mendengarkan materi atau memikirkan tema Swalatih yang harus saya tulis dengan cepat.
Saya akhirnya memutuskan untuk melaksanakan keduanya. tetapi melakukan dua hal bersamaan yang membutuhkan peran pancaindra yang berbeda bukanlah keahlian saya. Jari-jari saya mulai berselancar di Trello dan melihat tema apa saja yang diangkat oleh teman-teman pada swalatih pekan ini. Lalu, mata saya terkunci pada dua bahasan yang cukup menggelitik rasa ingin tahu saya untuk dibuka dan dibaca.
Bahasan Mas Harrits dan Mbak Dessy tentang budak cinta sangatlah menarik. Untuk kedua rekan saya ini, saya pasti angkat tangan. Mereka adalah penulis yang andal dengan cakrawala ilmu yang luas yang sudah terbiasa menulis kata-kata berkasta tinggi dan merangkainya menjadi kalimat-kalimat yang indah. Dari membaca tulisan mereka, saya akhirnya menemukan tema tulisan saya. Akan tetapi, bukan berarti saya mau ikut dalam perbincangan bucin mereka, ya. Cerita bucin dan materi Mbak Pire-lah yang menuntun saya untuk menulis hal ini.
Saya pernah bucin? Tentu pernah, bucin kronis malah. Ini bukan bucin dengan kekasih saya yang saat ini menjadi pasangan hidup setia saya, tetapi ini tentang bucin terhadap pekerjaan saya, bahkan terkadang bisa menghilangkan segala logika yang saya miliki.
Saya pernah bekerja di suatu perusahaan yang menurut kacamata saya saat di dalam sana adalah perusahaan yang besar. Jangan berpikir tentang korporasi besar yang sudah mendunia atau setidaknya yang sudah menguasai/merajai pasar lokal sehingga membuat saya bucin. Akan tetapi, ini tentang perusahaan yang masih berskala kecil yang memiliki pemikiran-pemikiran yang luar biasa. Luar biasa? Iya, benar sekali. Pemikiran-pemikiran luar biasa inilah yang akhirnya membuat saya menjadi bucin. Setiap hari, saya dicekoki dengan ilmu-ilmu yang terkadang membuat saya berpikir bahwa saya sedang sedang bersama orang-orang gila yang sangat menyenangkan.
Saking menyenangkannya, terkadang (baca: sering) saya mendedikasikan hidup 24 jam dalam sehari. Saya tidak bohong ketika saya bilang 24 jam karena dalam tidur pun saya kerap bermimpi tentang pekerjaan saya. Saya terlena dan masuk ke dalam arus kuatnya. Tanpa saya sadari, keluarga menjadi prioritas kedua. Pembelaan saya terhadap apa yang saya kerjakan lebih besar daripada ketika saya berdiskusi dengan keluarga saya. Menurut tulisan Mbak Dessy, cinta itu adiktif dan menjadi candu alami. Pernyataan tersebut sangat tepat; saya benar-benar kecanduan saat itu.
Sampailah di satu titik ketika saya sedang dalam nadir terendah saya dalam pekerjaan. Saya menyadari bahwa tempat berpulang adalah keluarga. Rasa cinta saya yang membumbung tinggi untuk pekerjaan tiba-tiba dihempaskan dengan sangat kuat ke depan kaki saya. Alhamdulillah, walaupun dalam keadaan linglung, dengan cepat, saya bisa surutkan kaki saya ke belakang. Saya sempat akan terjatuh, tetapi keluarga saya dengan sigap menangkap tubuh saya. Walaupun saya menjadikan keluarga sebagai prioritas kedua, mereka adalah orang-orang yang tetap membuka hati mereka yang terluka dan selalu siap memeluk saya. Di sinilah saya akhirnya menemukan arti keluarga.
Melupakan? Tidak gampang. Hati dan pikiran saya masih terluka dan tidak bisa memaafkan. Walaupun kemarahan saya sudah tidak sebesar dulu, masih ada luka kecil yang menganga yang enggan saya tutup. Keengganan ini mungkin karena ego saya yang besar.
Ketika kemarin tim SDMA membagikan poster bimbingan untuk pagi ini, ada rasa yang memaksa saya untuk menyeret kaki saya untuk melangkah ke depan laptop dan membuka ruang virtual. Lalu, saya duduk dan mendengarkan Mbak Pire yang mengupas tentang ‘Olah Rasa’. Saya selalu percaya bahwa dalam hidup ini tidak ada yang namanya kebetulan. Semua sudah diatur oleh Tuhan. Tiga puluh menit saya mendengarkan pemaparan beliau.
Saya terhenyak. Ternyata, jika kita salah mengolah perasaan, akan salah pula keluarannya. Bagi orang lain, ini merupakan ilmu dasar kehidupan. Namun, karena saking dasarnya ilmu ini, kita menjadi tidak peka dengan apa yang harus kita lakukan. Kita abai dengan cara kita mengatasi perasaan kita yang tanpa kita sadari merundung diri sendiri.
Kutipan terakhir di salindia Mbak Pire sangat mengena, yaitu, “Dengan memahami rasa, kita akan belajar memanusiakan diri kita sendiri.” Kutipan ini membuat saya sadar, bahwa proses ini mungkin tidak saya lakukan dengan baik. Saya marah, tetapi saya tidak berusaha dengan optimal untuk berkomunikasi dengan diri saya sendiri untuk mengetahui alasan saya marah, tidak selalu mengafirmasi perihal positif ke dalam diri saya, dan membiarkan luka tetap menganga meski yang memberi luka mungkin sudah lupa dengan apa yang mereka lakukan.
Dengan apa yang saya lakukan ini, apakah saya sudah memberikan beban yang terlalu besar untuk diri saya sendiri? Saya rasa iya. Tanpa saya sadari, saya melakukan ini. Saya menjadi manusia yang sangat sensitif sehingga asam lambung saya suka naik. Kemudian, tanpa saya sadari pula, saya meminum obat maag untuk mengobatinya, padahal akar masalahnya bukan itu. Bodoh, bukan?
Seperti tanggapan Mas Bimo di grup Koordinasi, dia merasa hidup kembali setelah mengikuti Belajar di Rumah pagi ini. Pada hari Jumat yang penuh keberkahan ini, saya pun mencanangkan hari ini saya harus keluar dari penjara yang saya buat sendiri. Si Bucin ini harus bebas supaya senantiasa berkarya lebih baik dan agar bisa menggenggam tangan orang-orang yang mencintainya agar saya tidak berjalan sendiri.
Mels 😉
Tangerang Selatan, 12 Maret 2021
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.