Fafifuwasweswos
Tidak banyak atau bahkan mungkin tidak ada orang yang tahu bahwa saya gemar menonton acara komedi tunggal, baik secara daring maupun luring. Tanyakan saja nama-nama juara Stand Up Comedy Indonesia Kompas TV kepada saya. Saya dapat menyebutkannya, mulai dari juara musim pertama hingga kedelapan. Selain itu, saya juga tahu beberapa teknik dalam komedi tunggal, seperti trilaku (rule of three), sebaris (one liner), dan libatan audiens (riffing).
Mulanya, saya menikmati acara tersebut sebagai pemirsa awam saja. Kelucuan yang terjadi saya biarkan mengalir sebagaimana kata Pandji Pragiwaksono: “Lucu, ya, lucu aja.” Namun, komentar para juri perlahan membuat otak saya merekam nama-nama teknik yang digunakan serta cara suatu lawakan (bit) bekerja. Pada lain waktu, saya juga kerap menyimak obrolan seputar komedi tunggal oleh berbagai komika. Hal itu membuat saya diam-diam mencoba menganalisis komedi tunggal ketika saya sedang menontonnya.
Sisi positifnya, saya sedikit-sedikit mampu menjelaskan titik lucu lawakan para komika. Ilmu kebahasaan yang saya punya juga turut membantu penjelasan itu. Akan tetapi, sisi negatifnya, saya tidak lagi menikmati komedi tunggal secara murni seperti dahulu. Jujur saja, itu cukup menganggu.
Sampailah keresahan itu pecah pada malam ini. Ketika magrib tadi, saya berbuka puasa dengan dua dari banyak orang yang membantu pengerjaan lagu-lagu Layang—band saya bersama seorang teman asal Gresik. Kami berbuka di sebuah tempat makan yang cukup ramai. Setelah memakan hidangan buka, kami memutuskan untuk membeli aneka jajanan pasar dan memakannya di angkringan agar lebih santai. Di angkringan itu, sambil makan dan minum, kami bermain ABC 5 Dasar.
Ternyata, permainan sederhana itu dapat membuat kami tertawa lepas. Bahkan, saya pun tertawa hingga sakit perut, sesuatu yang sudah sangat lama tidak saya alami. Kelucuan saat itu membuat pikiran dan badan menjadi jauh lebih segar.
Ketika pulang, barulah saya menyadari bahwa saya dapat tertawa tanpa memikirkan teknik-teknik tertentu. Saya dapat tertawa lepas tanpa menganalisis unsur-unsur kebahasaannya. Lucu, ya, lucu saja. Momen tadi mengalir begitu saja tanpa perlu ber-fafifuwasweswos.
Hal itu membuat saya teringat akan acara sesi dengar Layang pada 22 April. Pada acara itu, saya dan teman saya menjelaskan proses kreatif Layang dalam membuat lagu, termasuk perekamannya. Penjelasan itu membuahkan pertanyaan dari orang-orang yang mengikuti sesi dengar. Ada satu pertanyaan paling menggelitik bagi saya: Apa alasan di balik pembuatan lagu-lagu Layang? Tanpa ber-fafifuwasweswos, saya menyampaikan bahwa pembuatan lagu itu didasari oleh faktor kesenangan belaka. Ketika suasana eksternal dan internal sedang bertaut, ide kreatif muncul begitu saja.
Jawaban itu jugalah yang saya sampaikan ketika saya ditanya oleh pihak Institut Français Indonesia (IFI) Thamrin, Jakarta, tentang alasan saya ingin mengikuti les bahasa Prancis. Tidak ada alasan lain, selain karena saya senang belajar bahasa Prancis. Meskipun pada akhirnya tidak jadi ikut les karena biayanya cukup mahal, saya merasa senang pada hari itu karena saya mampu menyampaikan alasan yang jujur, yang tidak perlu fafifuwasweswos.
Terkadang, kita melakukan sesuatu atas dasar kesenangan saja, ‘kan? Kita merasakan dan menikmati momen menyenangkan itu. Kita menjadi yang sebenar-benarnya kita tanpa terbebani alasan ndakik-ndakik yang justru hampa dan jauh dari kejujuran.
Namun, sebagian orang mungkin akan mengatakan bahwa kita terlalu lugu atau bodoh. Alasan yang kita sampaikan, mungkin, akan dianggap remeh dan tidak memenuhi standar “saintifik”. Kita, mungkin, dianggap tidak punya pemahaman komprehensif atas sesuatu yang terjadi pada diri kita. Bahkan, kita—sekali lagi mungkin—akan dianggap malas untuk berargumentasi.
Akan tetapi, siapa yang dapat berbohong terhadap hati nuraninya? Sekian banyak alasan artifisial yang kita ciptakan tetap tidak dapat menutupi perasaan dasar mengapa kita melakukan sesuatu. Dan, mengapa kita perlu membuat-buat alasan hanya untuk terlihat “jenius”, ber-fafifuwasweswos?
Itu semua sekadar pengamatan—atau autokritik—dari saya atas hal-hal yang terjadi di sekitar. Boleh juga jika dianggap sekadar bualan. Toh, swalatih ini tak salah juga jika digunakan untuk membual, ‘kan?
Poinnya, saya merasa, “kemodernan” telah mengubur sebagian perasaan atau alasan murni kita dalam melakukan suatu hal. Ada anak kecil dalam diri kita yang ditenggelamkan oleh beban kehidupan. Anak kecil itu tak pernah kita perhatikan. Ketika ia berteriak, kita justru malu untuk memberinya pengakuan.
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.