Perkenalkan Teman Kita Semua: Lewah Pikir
Juni 2019. Di tengah kebimbangan dan pertikaian batin saat proses menyelesaikan tugas kuliah, saya tiba-tiba berpikir.
“Setelah ini, mau apa lagi, ya?” kata saya, seperti biasa, saat lewah pikir.
Jika diibaratkan sebagai sebuah profesi, lewah pikir adalah Pak Darman. Pedagang minuman keliling yang biasanya menjajakan dagangannya di kampus saya. Dengan membawa kantong plastik besar, Pak Darman dibantu batang bambu yang dipikulkan di pundaknya yang sudah renta. Usia Pak Darman mungkin sudah lanjut, tetapi tenaga dan konsistensinya setara dengan mahasiswa baru yang masih menggebu-gebu. Ia tak pernah lelah menawarkan dagangannya kepada mahasiswa dengan suaranya yang cempreng dan khas, termasuk kepada saya. Padahal, saat itu saya tengah membawa botol minum.
Lewah pikir rajin dan konsisten sekali mendatangi pikiran mahasiswa semester akhir. Padahal, kami sudah cukup sering “mengizinkan” benda satu ini masuk di tengah-tengah proses pengerjaan tugas, yang akhirnya membuyarkan semua.
“Saya senang menyambangi pikiran mahasiwa. Batinnya penuh pergolakan dan itu adalah makanan sehari-hari saya.” Kalau bisa, lewah pikir mungkin akan berbicara seperti itu.
Saat itu, kebetulan ia sedang cukup baik. Ia mengundang saya untuk berpikir tentang kira-kira apa yang akan saya lakukan setelah semua pengembaraan ke ujung pulau ini selesai. Iya, saya memang mengembara ke ujung timur Pulau Jawa untuk belajar.
Pertanyaan “Mau ngapain lagi setelah ini?” mungkin merupakan pertanyaan paling umum yang hadir. Kalau sedang beruntung, orang yang sedang optimistis dengan mudahnya mengenyahkan pertanyaan ini.
“Oh, gampang. Setelah ini, saya akan kembali ke rumah keluarga saya di kawasan elite Jakarta Selatan, lalu lanjut mencari ‘beasiswa’ agar bisa kuliah di luar negeri. Mmmm, kalau bisa, sih, ke Eropa agar bisa sekalian jalan-jalan atau mengisi konten TikTok.”
Bagaimana kalau pertanyaan ini muncul ke pikiran orang yang sedang pesimistis atau lelah memikirkan masa depan?
Sebenarnya tak ada jawaban pasti. Saya pernah ada di kondisi ini. Kalau kata orang di kampung, saya sudah semi-semi madesu alias masa depan suram. Ada satu hal yang tidak disukai benda menyebalkan bernama pesimistis: renjana. Banyak orang yang merasa hidup kembali setelah menemukan renjananya. Mungkin, renjana itu tak secara langsung berhubungan dengan masa depan, tetapi setidaknya ada harapan atas rencana kehidupan.
Saat itu, saya menjawab pertanyaan si lewah pikir.
“Saya mungkin belum tahu apa yang akan saya lakukan lima, sepuluh, atau dua puluh tahun ke depan. Namun, satu hal yang pasti, saya ingin tetap bisa berbicara. Saya ingin tetap bisa mendengarkan dan didengarkan. Saya ingin bisa membuat orang tertawa.”
Si lewah pikir terdiam.
“Aneh banget ini anak.”
Lalu, ia pun pergi.
Terkadang, saya cukup sering mempertanyakan rencana masa depan dan saya cukup sering kesulitan menjawabnya. Satu hal yang saya tidak ingat, renjana tak akan pernah mati. Mimpi tak akan pernah mati. Kalau sewaktu-waktu renjana kita seakan-akan mati, percayalah, ia hanya tidur dan akan bangun kembali. Entah menjadi seperti ini.
“Alhamdulillah, enggak sia-sia saya ikutin renjana saya dari dulu.”
Atau, seperti ini.
“Yah, tahu begini, saya ikutin renjana saya dari dulu.”
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 5 / 5. Jumlah rating: 1
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.