Obituari untuk Ayah
Delapan puluh persen prinsip hidup saya menurun dari Ayah. Salah satunya: keras kepala. Suatu hari, Ayah pernah sakit tifus. Ia tidak bilang. Tiba-tiba, kondisi tubuhnya drop. Saya yang saat itu sedang di Surabaya panik bukan main. Saya ingin pulang, tetapi dilarang. Ia juga tidak mau dirawat di rumah sakit karena takut jauh dengan keluarga. Akhirnya, kami memanggil dokter keluarga untuk merawat Ayah di rumah, termasuk memasang infus.
Setelah sehat, saya sempat bertanya alasannya. Ayah hanya menjawab singkat, “Ayah enggak mau bikin mama panik. Enggak mau bikin semuanya susah.”
***
Bisa dibilang, Ayah adalah pengisi sebagian besar cerita hidup saya. Pada 1 Mei 2012, saya masih duduk di bangku sekolah menengah. Namun, Avenged Sevenfold ketika itu adalah grup musik favorit saya. Kebetulan, saat itu mereka sedang menyambangi Indonesia dalam rangka tur dunia sehingga saya berniat untuk menonton konser mereka. Ibu saya, sebenarnya melarang ide itu. Bagaimana tidak? Konser grup musik metal cenderung belum ramah untuk anak-anak seusia saya. Saya tetap bersikukuh. Akhirnya, Ayah menemani saya. Ia memilih untuk izin dari kantornya untuk menemani saya. Ia tidak sekadar mengantar, tetapi menemani. Saat itu, saya tidak kesampaian menonton karena konser harus dibatalkan.
Pada konser-konser setelahnya, Ayah selalu bela-belain mengantar saya. Minimal menjemput saya. Padahal, saya bisa berangkat sendiri. Mungkin, konser yang sebagian besar diadakan di Senayan searah dengan arah Ayah pulang bekerja. Tak cuma mengantar, Ayah juga sempat menemani saya nonton langsung. Kebetulan, kala itu ada tiket lebih. David Cook dan Greyson Chance, dua musisi itu yang pernah kami tonton bersama. Kami lebih sering pulang menonton menggunakan motor. “Biar tidak macet,” katanya. Saat itu, saya memandang Jakarta lebih dari sekadar ibu kota. Jakarta tak pernah tidur, begitu pun penduduknya. Saya melihat Jakarta malam berbanding terbalik dengan Jakarta saat siang hari.
Ketika itu saya melihat pasar malam elektronik di pinggir jalan, sampai pedagang sayur yang baru pulang membeli stok sayur. Saya sadar, mungkin itu salah satu cara Ayah membuat saya mengenal dunia. Dunia dan Jakarta yang bukan hanya tentang ingar bingar kantor dan lalu lalang kendaraan umum, melainkan juga tentang masyarakat marginal dan kontrakan padat. Sejak saat itu, berkendara naik motor bukan hanya sebuah proses transportasi bagi saya. Lebih dalam dari itu.
***
Pada akhir Juni 2021, Ayah sempat gusar. Ia tidak boleh berdonor darah. Itu suatu hal yang aneh karena Ayah sudah berdonor darah rutin selama lebih dari sepuluh tahun. Kata petugas, tekanan darah Ayah tinggi. Tak biasanya seperti itu. Ketika pulang, Ayah juga sempat mengecek tekanan darahnya dengan tensimeter di rumah. Hasilnya sama. Tekanan darah Ayah tinggi. Ia sempat berguyon, tekanan darah saat itu tinggi karena paginya ia sempat menegur tukang yang sedang membangun rumah tetangga. Saya pun hanya tersenyum.
Sepekan setelahnya, saya sadar. Allah bukan tidak memperbolehkan Ayah untuk donor, tetapi menyuruh Ayah untuk cukup.
“Cukup, sekarang waktunya kamu istirahat, ya.” Mungkin seperti itu.
Pada 12 Juli 2021, Ayah pulang, tetapi tidak ke rumah di Pinang. Ayah harus pulang ke keabadian, bertemu dengan bapaknya: sosok kakek yang selalu dibanggakan pada saya. Sekarang, Ayah tak lagi perlu berdonor darah untuk membantu sesama. Ayah sudah bisa bermain badminton dan naik motor sepuasnya di sana. Kelak kita akan bertemu lagi, ya, Yah.
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 5 / 5. Jumlah rating: 2
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.