Dilarang Ikut ke Pasar
Sejak kecil, Ibu saya sering kali mengajak saya ikut pergi ke pasar. Seperti anak-anak kecil pada umumnya, saya selalu minta dibelikan jajanan yang saya lihat di sekitar pasar. Padahal, sih, saya enggak terlalu pengin. Hasrat berjajan saya memang terlalu besar, melebihi bakat saya dalam menyunting video. Kadang, kalau Ibu saya tidak membelikan apa yang saya mau, sering kali saya murka, nangis, atau kadang sok-sokan hilang dari pasar supaya dia merasa bersalah lalu membelikan barang yang saya mau. Namun, bukan itu penyebab saya dilarang ikut lagi ke pasar.
Setelah beranjak dewasa hinggasaya berumur 21 tahun, Ibu saya terkadang masih meminta saya untuk menemaninya pergi ke pasar. Saya diminta menyetir motor. Saya sudah cukup dewasa untuk memahami percakapan antara dia dan para penjual di pasar. Saya selalu geram saat melihat dia berbicara dengan para penjual itu. Mengapa? Tidak lain tidak bukan karena cara dia menawar harga.
Terdapat tiga cara yang kerap dia lakukan saat menawar harga.
- Pura-pura pernah beli di tempat yang sama, tetapi harganya berbeda.
Contoh: “Ah, kemarin saya beli di sini harganya Rp27.000/kg. Haduh, bener, Mas. Kemarin banget saya beli di sini.”
Padahal, kemarin dia enggak ke pasar sama sekali.
- Selalu mengarang nama pedagang lain yang menjual dengan harga yang lebih murah.
Contoh: “Ya ampun, Mas … mahal banget. Di ujung sana, Mas Anto jual sekilonya Rp55.000, tuh.”
Siapa itu Mas Anto? Entahlah.
- Kadang, sesekali, dia merusak telur supaya harga per kilonya lebih murah.
Contoh:
Ibu: “Mas, ini telur sekilonya harga berapa?”
Penjual: “Rp23.000, Bu. Kalau yang agak retak Rp18.000, Bu. Cuma yang agak retak kayaknya tinggal dikit.”
Ibu saya membutuhkan satu kilo telur. Namun, yang retak tersisa setengah kilo. Solusinya, dia meretakkan beberapa telur hingga genap satu kilo.
Nah, sesekali, saat Ibu saya melakukan tiga cara tersebut, saya selalu berisik menasihati dia bahwa cara itu dapat membuat pedagang merasa tidak nyaman. Dia selalu bilang, “Yang duluan lahir itu Mama, bukan kamu. Jadi jangan berisik.” Karena selalu enggak bisa dinasihati, saya memilih cara untuk membuat sindiran dengan candaan. Seperti saat dia melakukan cara pertama, saya akan selalu bilang, “Lah? Kemarin perasaan Mama di Bandung. Kapan belanjanya?” Lalu saat dia melakukan cara kedua, saya kadang bilang, “Mas Anto? Bukannya dia yang jualan siomai, ya, Mam?” Yang terakhir, ketika dia melakukan cara ketiga, saya selalu bilang, “Aduh, Mam … pecah, tuh, telurnya. Hati-hati, dong, Mam.”
Semenjak itu, Ibu saya bilang, “Kalau Mama lagi nawar, kamu jangan ikut campur, dong. Mama enggak mau minta tolong kamu untuk ikut ke pasar lagi, Do.”
Ya … . Demikian cerita mengapa saya dilarang ikut lagi ke pasar oleh Ibu saya.
Terima kasih,
Keith Edward Sadeli
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.