Berkali-kali Uda menjawab pertanyaan audiens Tabah dengan kalimat tersebut, tetapi tetap saja masih banyak audiens yang kekeh bertanya hal yang serupa.

“Yang benar memerhatikan atau memperhatikan?”

Tanggung jawab atau tanggungjawab, Da?”

“Da, minta pencerahan, dong! Analisa atau analisis, sih? Apakah ada perbedaannya?”

Sebenarnya ini bukan hal yang mengejutkan bagi saya karena sebelumnya saya sempat melakukan hal yang sama. Saya sering bertanya tentang hal yang seharusnya bisa dicari sendiri. Mencarinya gampang, tetapi tidak dilakukan.

Tersentak, lalu tobat. Itu adalah momen awal ketika merasa harus berubah. Terkadang kita merasa bertanya lebih cepat dan mudah daripada mencari sendiri. Kata Mas Fauzan Al-Rasyid melalui cuitannya di Twitter, “… cobalah untuk sedikit saja merenungkannya. ‘Malu bertanya, sesat di jalan’ bukan lagi nasihat yang harus ditanamkan.” Sepakat, ya?

Kenapa harus sepakat?

Dulu, dengan keterbatasan teknologi mungkin agak sulit bagi kita mencari informasi. Bertanya ke orang-orang sekitar menjadi lebih efektif. Namun, sekarang tidak. Informasi itu hanya sebatas jempol yang menari di layar gawai kita dan sangat mudah dicari. Tantangannya adalah seberapa besar keinginan kita untuk mencari sesuatu.

Lalu, apa yang membuat kita tidak mau mencari? Malas? Saya rasa bukan. Saya rasa yang cocok menggambarkannya adalah kata enggan Dalam KBBI, enggan artinya ‘tidak mau’. Kita tidak mau mencari karena beranggapan orang di sekitar kita pasti tahu jawabannya. Kita berasumsi waktu yang akan diluangkan untuk mencaripasti lebih lama. Kita berasumsi kalau kita bertanya, pasti jawabannya lebih akurat. Asumsi, asumsi, dan asumsi. Ini pembenaran yang mengalahkan akal sehat.

Apakah kita pernah berpikir tentang perasaan orang yang ditanya? Mungkin ada yang tidak sadar, merasa itu hal yang lazim, dan seketika memberikan jawaban. Ada pula yang pasrah, malas berdebat, dan akhirnya memberikan jawaban. Ada pula yang sudah berada pada taraf lelah dan akhirnya menjadi silet, lalu kita jadi baper. Euuuuuuugggh!

Lalu, apa ruginya untuk kita yang suka melakukan hal tersebut? Otak kita tidak pernah dapat rangsangan aktif. Kita menjadi terbiasa mendapatkan sesuatu tanpa mengkritisinya. Kita enggan mengobservasi apa yang ada di sekeliling kita. Bersandar dengan orang di sebelah kita memang membuat kita terlena, ya? Apabila diibaratkan benda tajam, sering dipakai tanpa diasah lama-lama pasti tumpul.

Yuk, jangan gunakan gawai kita hanya untuk mengintip media sosial atau bermain saja. Kita buka cakrawala dunia melalui gawai yang hampir selalu ada di tangan kita. Di zaman yang sudah canggih ini, semua hal bisa kita dapatkan dalam hitungan detik, tetapi semua itu harus mampu kita lakukan dengan menaklukkan si Enggan tersebut.

Jangan sampai kufur nikmat, ya, Sobat.
Nikmat memiliki otak yang mempunyai bermiliar-miliar neuron ini harus kita gunakan seoptimal mungkin. Hargai apa yang kita punya sebelum dia menghilang.

 

Mels 😉

Tangerang Selatan, 4 September 2021

 

 

 

 

 

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.