Makna Kultural yang Sebenarnya Sakral
Dalam kajian ilmu terapan bahasa, ada satu bidang ilmu yang saya sukai, yaitu etnolinguistik. Etnolinguistik ialah kajian mengenai bahasa dan budaya. Menurut Kridalaksana (2001:5), etnolinguistik adalah cabang linguistik yang menyelidiki hubungan antara bahasa dan masyarakat pedesaan atau masyarakat yang belum mempunyai tulisan. Bidang ini kadang disebut juga dengan linguistik antropologi, yaitu cabang linguistik yang menyelidiki hubungan bahasa dan sikap bahasawan terhadap bahasa. Salah satu aspek etnolinguistik yang sangat menonjol ialah masalah relativitas bahasa.
Sebagai orang yang hidup dalam lingkungan budaya Jawa, saya sudah terbiasa dengan acara adat Jawa, salah satunya prosesi adat pernikahan. Pernikahan adalah momen satu kali seumur hidup yang mengandung banyak makna dan harapan di dalamnya.
Saya pernah melakukan penelitian secara khusus terhadap salah satu bagian dalam rangkaian upacara pernikahan gaya Surakarta, yaitu upacara panggih. Upacara ini merupakan bagian dari rangkaian upacara pernikahan yang dilaksanakan dengan menggunakan bahasa Jawa ragam krama. Pelaksanaan upacara panggih didampingi oleh pranata adicara atau pembawa acara yang menuturkan sebuah wacana sebagai pelengkap upacara adat pernikahan. Tuturan yang disampaikan pranata adicara merupakan fokus utama yang saya garap di dalam penelitian itu.
Penelitian saya berfokus untuk menganalisis makna kultural yang ada dalam tuturan pranata adicara dalam upacara panggih. Saya menemukan bahwa sebenarnya tidak semua ungkapan dari pranata adicara memiliki makna khusus dalam upacara pernikahan. Kebanyakan di antaranya berupa satuan lingual tertentu saja, baik dalam bentuk kata, frasa, maupun klausa.
Pada upacara panggih terdapat beberapa rangkaian acara yang harus dilakukan oleh pengantin putra dan putri, yaitu temu manten, balang suruh, wiji dadi, sindur binayang, pangkon timbang, kacar-kucur, dulangan, mertui, dan sungkeman.
Saya tidak akan menceritakan keseluruhan makna tiap mata acara dalam upacara panggih. Akan tetapi, ada dua prosesi yang menurut saya menarik, yaitu kacar-kucur dan dulangan.
Pertama, prosesi kacar-kucur atau kadang disebut tampa kaya. Prosesi ini dilakukan dengan cara pengantin putra mengucurkan beras, beras kunir, dan uang logam. Hal ini memiliki makna bahwa pengantin putra memiliki tanggung jawab untuk memberi nafkah. Isi kucuran disebarkan di pangkuan pengantin putri yang siap menerima dengan lembaran mori. Hal ini bermakna pengantin putri harus bisa menerima apa pun yang diberikan oleh suami dan dapat mengelola pemberian itu dengan hemat, teliti, dan hati-hati. Ketika memperhatikan prosesi ini secara langsung, saya bisa tersenyum dan tenang, tidak sambil membayangkan, kok.
Berikutnya, prosesi dulangan. Prosesi ini memiliki sebutan lain dhahar kembul atau dhahar klimah. Prosesi dulangan sebenarnya tidak boleh dilihat umum karena maknanya yang berhubungan dengan seksualitas. Prosesi dulangan mengiaskan laku memadu kasih antara pengantin putra dan putri. Prosesi ini juga memiliki makna bahwa saat suami mendapat rezeki, seorang perempuan harus mampu mengolahnya untuk dinikmati bersama-sama.
Menarik sekali mengkaji budaya lewat bahasa melalui ilmu etnolinguistik ini. Melalui penelitian itu, saya berharap supaya pengantin putra dan putri tidak hanya menuruti alur prosesi, tetapi juga mengetahui makna yang terkandung di dalamnya.
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.