Mengobrol
Untuk saat ini, tak ada yang lebih saya inginkan daripada mengobrol. Jika sebagian orang mengira bahwa itu adalah kegiatan yang sia-sia, saya menganggapnya sebagai hal yang paling mendasar dari berbagai aktivitas manusia. Bahkan, ketika rapat, saya selalu menunggu sesi mengobrol ngalor ngidul. Itu karena mengobrol dapat membuka sisi lain dari seseorang. Kita tak pernah tahu keadaan sesungguhnya atau pengalaman-pengalaman unik dari orang lain sampai kita mengobrol dengannya. Selain itu, ide-ide segar pun kadang lahir ketika mengobrol.
Mengobrol itu simpel, tak perlu teori ini itu untuk menjadikannya asyik. Lebih asyik lagi jika itu tidak direncanakan. Obrolan akan lepas begitu saja, keluar dengan cara paling khas dari mulut orang-orang yang hadir. Ia akan menjadi sesuatu yang terasa alami.
Meskipun begitu, tidak semua orang enak diajak mengobrol. Orang yang biasanya terlalu mendominasi atau terlalu pasif cenderung tidak kita pilih sebagai kawan bicara. Kita pun lebih memilih untuk mengobrol dengan orang yang sepemikiran—atau sering kita sebut sefrekuensi. Itu karena kita berharap bahwa mengobrol dapat melegakan hati dan pikiran, bukan malah merusuhinya. Kita juga enggan terjebak dalam percakapan yang topiknya asing atau tidak membuat nyaman.
Lalu, hati saya berceletuk, “Bukankah lebih baik punya orang yang siap diajak mengobrol meskipun tidak sesuai daripada tidak ada orang sama sekali?” Memang itu cukup dilematis. Makin berumur, makin saya sadar bahwa orang-orang tak semudah dahulu untuk diajak mengobrol. Mereka punya kehidupan sendiri pada akhirnya, sedangkan diri tak dapat dibagi-bagi untuk melakukan banyak hal secara simultan. Sekalinya ada orang yang bisa, itu bukan orang yang kita inginkan.
Kadang saya sedih akan hal itu. Saya pun teringat tulisan di kaus bagian belakang milik orang yang lewat di depan saya beberapa hari lalu. Begini kata-katanya: “Dulu punya waktu, tapi tidak punya uang. Sekarang punya uang, tapi tidak punya waktu.” Rasanya benar sekali. Uang yang sekarang saya punya nyatanya tidak dapat membeli waktu untuk mengobrol bersama orang-orang yang saya inginkan.
Oleh karena itu, ketika kesempatan mengobrol bersama orang-orang tertentu itu tiba, saya tidak mau menyia-nyiakannya. Batin pun perlu asupan bergizi dan itu salah satunya diperoleh dari mengobrol.
Apalah arti dunia ini tanpa mengobrol. Hanya jadi seonggok mesin, ladang peperangan, atau samudra kehampaan.
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.