Perjalananku ke luar kota kali ini berbeda. Aku ditemani oleh sahabatku Aci yang senang sekali mengunyah permen karet. Meskipun makan banyak permen karet yang selalu ia simpan di tas selempang merah, Aci tetap rajin sikat gigi setiap mau tidur. Iya, aku tahu karena ia suka sekali bercerita hal-hal remeh yang sebenarnya menginspirasi diriku. Aci punya cita-cita ingin menjadi psikiater terbermanfaat. Ia bercerita dengan bergaya seolah-olah sedang mengangkat piala kehormatan seperti ajang nominasi-nominasi di televisi. Aku tertawa melihat tingkahnya. Satu hal kekurangan Aci, ia tidak dapat diajak bergantian menyetir. “Aku nggak akan tidur dan kita akan ngobrolin banyak hal di perjalanan” dalih Aci. Aku menanggapinya dengan senyuman dan mengajukan janji telingking. 

Setengah perjalanan sudah terlewati, mulut Aci masih belum berhenti. Ia masih bercerita sembari mengunyah permen karet. Aci menepati janjinya. Aku merespons dengan bertanya pada Aci alasan dia ingin sekali jadi psikiater. 

“Aku, tuh, pengin banget orang-orang itu secara sadar berbuat baik terhadap dirinya sendiri. Entah sudah berapa orang selalu berusaha menutupi luka dirinya sendiri dengan berbuat baik terhadap orang lain. Jelas-jelas itu, tuh, nggak nyembuhin. Suatu saat, luka itu akan kembali ada ketika dirinya mengingat sesuatu yang belum sembuh tadi. Perlahan, itu yang membuat dirinya akan hancur. Padahal buat sembuh caranya nggak kaya gitu. Ia harus menyadari lukanya, lalu dirinya harus mulai menyembuhkan dengan berbuat baik dulu ke dirinya sendiri. Kemudian, baru bisa berbuat baik dengan tulus ke orang lain.” 

Mobil masih terus melaju dan aku tetap menghadap lurus ke depan memilih fokus menyetir sembari memasang telinga untuk menjadi pendengar dan sesekali merespons Aci. Aku tahu Aci sedang merasakan keleluasaan bercerita padaku. Ini hal yang berharga untuknya karena aku tahu dia tengah menceritakan tentang perjalanannya menyembuhkan luka ketika kehilangan kedua orang tuanya. 

Cerita Aci mengingatkanku dengan tulisan Haenim Sunim dalam bukunya Love for Imperfect Things. When we become kinder to ourselves, we can become kinder to the world.” Ini yang aku suka dari Aci, ia tanpa sadar sudah berhasil memperoleh nominasi terbermanfaat versi lingkup mini hubungan persahabatan. Sejujurnya, aku tidak begitu suka dengan terminologi self-love karena hal ini bisa menjadi sebuah pembenaran terhadap ketidakberdayaan kita atas kesalahan-kesalahan diri. Pembenaran yang ujungnya jadi pembiaran bukan pembenahan diri. Self-love seolah bisa menjelma sebagai pisau bermata dua. Sisi baiknya, ya, mencintai diri sendiri dilakukan dengan mensyukuri atas hal-hal yang kita usahakan dan Tuhan berikan. 

Cerita Aci dan tulisan Haenim Sunim tadi mengingatkanku dengan sabda Nabi Muhammad: “Tidaklah termasuk beriman seseorang diantara kamu sehingga mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR Bukhari dan Muslim)

Tanpa mencintai dan berbuat baik dengan diri sendiri, apa yang akan kita berikan pada orang lain? Jangan-jangan kita memberi hanya untuk unjuk diri, jangan-jangan memberi hanya untuk menutupi luka di hati. Jangan-jangan memberi hanya untuk menuntut balas di kemudian hari. 

Jadi, sudahkah berbuat baik hari ini terhadap diri kita sendiri? 

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.