Mencerna
Saya memutuskan untuk memilih kata mencerna sebagai judul tulisan ini ketika saya menonton video wawancara Jason Ranti pada kanal Pop Hari Ini di YouTube. Di sana, sewaktu tiba pada pertanyaan tentang cara mendapatkan inspirasi untuk menulis lirik, penyanyi nyentrik yang mempunyai lagu berjudul “Variasi Pink” itu menjawab, “Kadang-kadang sederhananya lu siapin buku catatan aja, deh, karena ketika itu datang, lu mesti tulis itu … karena sekarang dunia berlangsung begitu cepat. Kadang kalau kita punya waktu untuk pause sebentar, untuk mencerna … itu bisa jadi momen untuk menulis.” Dalam hati, saya segera bersepakat dengan ucapannya.
Memang benar, kita sangat butuh mencerna. Ketika kehidupan di dunia ini berlari tak kenal waktu dan banyak orang berkejaran, bahkan bersikutan, untuk mendapatkan sesuatu, kita hanya butuh diam sementara. Kita perlu memproses hal-hal yang terjadi di sekitar. Informasi yang masuk ke dalam kepala perlu kita endapkan terlebih dahulu. Kita perlu berhenti sebentar untuk memahami.
Saya pun butuh dan berusaha seperti itu meskipun kenyataan tak mempersilakan saya untuk melakukannya dengan mudah. Sering kali pikiran saya dihantam dari segala penjuru oleh berbagai hal. Mereka memaksa saya untuk melaju dengan sangat cepat, hampir-hampir tanpa jeda, dan tanpa ada kesempatan untuk bernapas. Segalanya memburu hingga saya tak sempat untuk bertenang sejenak.
Dalam keriuhan demikian, frasa tenang sejenak muncul kembali. Saya ingat betul, ketika belajar agama di sekolah dasar, guru saya mengatakan bahwa tenang sejenak adalah inti dari salat. Ketika salat, seseorang harus tenang agar mampu mengingat kuasa Tuhan dan menyadari kehadiran-Nya. Kini saya paham bahwa konsep tersebut benar-benar penting. Pada konteks lain, tenang sejenak membuat seseorang bisa memahami arti kehadirannya dan sekitarnya. Tenang sejenak mengarahkan manusia untuk mencerna dan memproses serpihan-serpihan cerita agar menjadi sesuatu yang bermakna dan penuh daya.
Saya kemudian teringat akan salah satu tetangga saya, seorang tua yang biasa duduk di beranda rumahnya pada sore hari. Tiap kali lewat, tepat pada momen itu, saya selalu memperhatikan matanya. Pandangannya jauh entah ke mana. Barangkali ia sedang berusaha mencerna perjalanan hidupnya dan merangkai adegan-adegan yang pernah dialami menjadi sebuah film panjang dalam kepala. Ketika film itu hampir mencapai akhir, Sang Sutradara berteriak, “Berhenti!” Saat itulah ia tahu bahwa mencerna hanyalah mimpi.
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.