Menjaga Hati dan Paru-Paru
Bulan Oktober ini, genap sudah saya setahun melakukan pengobatan terhadap penyakit tuberkulosis atau biasa disebut TBC. Saat tulisan ini saya tik pada ponsel, saya belum mengetahui apakah saya akan benar-benar sembuh.
Semenjak berobat, saya punya satu tembang favorit karya Lomba Sihir yang tidak pernah bosan saya dengar, “Hati dan Paru-Paru”. Judulnya cukup unik dan mungkin tak membuat orang mudeng terhadap makna di balik judulnya jika tidak mendengarkan keseluruhan lagu. Buat saya yang tinggal di sebuah rumah kecil, yang hanya butuh berjalan kaki sejauh seratus meter untuk berada di antara perbatasan Kota Depok dan Ibu Kota Jakarta, lagu tersebut semacam mengamini perasaan yang muncul setiap harinya kala beraktivitas sebagai pelajar sekaligus pekerja di ibu kota.
Jakarta tak pernah benar-benar ramah bagi orang di dalamnya. Namun, saya masih dapat mengagumi kerumitan yang ada di dalamnya setiap berjalan menyusuri banyak sudut di ibu kota. Saya menangkap momen-momen menarik yang belum tentu bisa terulang kembali dengan kamera.
TBC adalah penyakit yang cukup umum di Indonesia. Lebih dari 150 ribu kasus muncul tiap tahun. Namun, mengidap TBC di tengah pandemi Covid-19 bagai pukulan telak untuk saya. Selain tak bisa leluasa beraktivitas di luar rumah, orang tua saya pun jadi lebih protektif terhadap kesehatan saya. Lebih dari setahun lamanya, saya nyaris tak pernah bertemu dengan teman-teman saya secara langsung. Pengobatan yang terus diperpanjang tiap tiga bulan sekali membuat saya frustrasi dan bertanya-tanya, kapan saya bisa benar-benar bertemu dengan teman-teman saya? Sudahlah paru-paru sakit, kini hati juga ikut sakit.
Kondisi kesehatan juga kerap memaksa saya untuk mengendurkan jadwal kegiatan. Kerap kali saya izin kepada dosen karena harus kontrol rutin bulanan pada sore hari saat perkuliahan masih berlangsung. Bahkan, saya memutuskan untuk mundur dari beberapa proyek dan kegiatan kemahasiswaan karena saya perlu lebih banyak beristirahat. Selain itu, banyak kegiatan masih dilakukan secara tatap muka. Ketidakmampuan saya untuk berpartisipasi di lokasi menimbulkan rasa bersalah karena tak bisa berbuat lebih. Tak jarang, saya juga mempertanyakan komitmen saya sendiri. Boleh jadi mereka memaklumi kondisi saya, tetapi saya tidak bisa membohongi diri sendiri bahwa saya cukup iri dan sakit hati karena tak bisa beraktivitas layaknya manusia normal.
Saya menjaga hati dan paru-paru secara harfiah selama dua belas bulan terakhir. Betul, itu termasuk menjaga organ hati karena saya harus rutin menelan pil kurkuma untuk menjaga fungsi hati yang diterjang ribuan butir obat selama berbulan-bulan. Semoga tak lama lagi saya bisa kembali menyusuri dan mengagumi kerumitan ibu kota dengan kondisi hati dan paru-paru yang jauh lebih baik. Singkatnya, sembuh total.
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.