Mulutmu harimaumu. Peribahasa itu sering saya dengar sejak kecil. Saya kira sebagian besar masyarakat Indonesia juga akrab dengan itu. Bahkan, ungkapan yang kurang lebih bermakna ‘jangan bicara sembarangan’ tersebut termasuk dalam lima peribahasa terpopuler versi sebuah majalah. Entah majalah apa.

Nah, saya setuju bahwa bicara tidak boleh sembarangan. Kita tidak bisa tiba-tiba mengatakan Donat enak, nih kepada petugas parkir, apalagi tepat di samping telinganya. Namun, ada hal lain yang tak kalah penting, yaitu memulai berbicara setelah orang lain selesai berbicara.

Itu tampak sebagai hal remeh, bukan? Akan tetapi, percayalah, saya sering menjumpai orang yang tidak sabar untuk berbicara. Saking tidak sabarnya, ia beberapa kali memotong ucapan orang lain dan terkadang memulai topik baru, padahal topik lama belum selesai dibahas.

Tak perlu jauh-jauh mengambil contoh. Saya pun pernah menjadi pelakunya. Ketika itu, dua tahun lalu kira-kira, adik tingkat saya di kampus datang ke pondokan. Ia berkeluh kesah mengenai tugas perkuliahan yang tak ada habisnya. Saya yang mulanya hanya mendengarkan tiba-tiba gatal untuk berbicara sewaktu sampai pada suatu poin pembahasan. Saya memang tidak memulai topik baru, sih, tetapi membuat kesimpulan sendiri sebelum ia menyelesaikan penjelasannya. Ia lantas berkata, “Ya, makanya dengerin dulu.” Kalimat pendek itu terngiang dalam kepala saya hingga sekarang. Itu sebabnya kini saya tidak berbicara sebelum orang lain selesai bicara atau menyilakan saya memberi suara.

Bicara itu juga soal waktu ternyata. Belakangan saya makin memahami itu. Soenjono Dardjowidjojo dalam buku Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia (2018: 126) menulis, “Pada umumnya orang tahu siapa yang punya hak waktu untuk bicara, berapa lama kita harus menunggu untuk menjawab, kapan kita harus diam, dan kapan harus bicara. Dengan kata lain, percakapan mempunyai struktur dan ada aturannya.” Jadi, memang benar bahwa waktu adalah hal penting ketika kita bercakap-cakap dengan orang lain.

Selain itu, ada perspektif penting soal berbicara yang baru saya pahami ketika mengikuti “Kumpul di Rumah”, salah satu acara pengembangan pegawai di Narabahasa. Bulan lalu, acara tersebut menghadirkan Mbak Peny Meliaty Hutabarat, seorang pengajar Vokasi UI, sebagai pembicara. Ia menyampaikan kiat-kiat wicara publik.

Pada salah satu bagian, ia mengatakan, “Berbicara itu bukan soal mendominasi percakapan, melainkan menyampaikan pesan.” Saya sepakat dengan Mbak Peny. Bukan seberapa banyak kata yang diucapkan, melainkan seberapa banyak informasi yang disampaikan. Dalam konteks wicara publik, memang diperlukan hal seperti itu. Bukankah kita bosan mendengarkan pengulangan-pengulangan, misalnya oleh narasumber tertentu dalam gelar wicara di televisi? Belum lagi ada yang tak mau kalah adu mulut. Setan pun menangis menyimaknya.

Akhirnya, kita pun menyadari bahwa berbicara itu tidak mudah. Berbicara itu nggak doang. Oleh karena itu, saya kagum terhadap orang-orang yang bisa berbicara secara tepat waktu, informatif, luwes, dan efisien. Jika menemukan orang yang seperti itu, tolong kabari saya, ya. Nanti saya rekomendasikan untuk menjadi Juru Bicara RI. Posisinya sedang kosong. Siapa tahu ada yang minat menggantikan juru bicara lama yang kurang berbakat. Eh.

 

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.