Beberapa pekan terakhir, serial berjudul “Hometown Chachacha” berhasil mencuri perhatian saya. Cerita yang berlatar di pesisir pantai Kota Gongjin dengan masyarakat yang ramah dan erat dengan panganan laut ini mengingatkan saya pada kampung halaman tempat saya dilahirkan, yaitu Pulau Nias.

Deburan ombak dan langit biru Gongjin membuat saya merasa déjà vu. Saya tersihir oleh keindahan pantai dan laut yang mempunyai kemiripan dengan beberapa lokasi wisata di Nias. Suasana Gongjin, tempat Hong Banjang berselancar, mirip dengan Pantai Sorake yang letaknya di Nias Selatan.

Konon, Pantai Sorake dijuluki Surga Selancar dan termasuk destinasi utama yang sedang dikembangkan. Keindahannya tersiar sampai ke luar negeri. Oleh karena itu, tak jarang ketika pulang kampung saya kerap berpapasan dengan wisatawan asing yang membawa perlengkapan selancar khusus untuk mencicipi ombak Pantai Sorake. Fakta menarik lainnya adalah masyarakat yang tinggal di pesisir Pantai Sorake, terutama pemilik losmen dan sekitarnya, biasanya lebih lihai berbahasa Inggris daripada berbahasa Indonesia. Maklum, masyarakat cenderung menggunakan bahasa daerah untuk berkomunikasi sehari-hari dan menguasai bahasa asing untuk berjualan.

Pada episode lainnya, Hong Banjang ditampilkan memancing dari atas batu karang besar yang berada di bibir pantai. Dalam adegan itu, Bu Dokter menyusul dan nyaris terjatuh karena terpeleset  bebatuan yang curam dan licin. Lagi-lagi, saya malah fokus pada suasana pantai. Batu karang besar yang ditampilkan membuat bayangan saya terlempar jauh ketika saya dan keluarga mengunjungi Pantai Tureloto.

Berbeda dengan Pantai Sorake di Nias Selatan yang terkenal dengan ombaknya yang tinggi, Pantai Tureloto di Nias Barat justru bak laut mati. Ombak di pantai ini sangat tenang dan jernih serta dihiasi pasir putih dengan kerikil karang yang terbentang dari jalan masuk sampai ke laut. Pengunjung bisa dengan jelas melihat batu karang yang mengering seperti ditinggalkan lautan. Anak-anak paling semangat diajak ke pantai ini karena bisa dengan mudah melihat ikan-ikan yang bersembunyi di balik karang. Katanya, gempa dan tsunami yang dulu pernah terjadi membuat laut seolah mundur dan mengubah garis bibir pantai. Itulah yang membuat batu karang mencuat dan bisa dengan mudah terlihat bahkan dari ujung jalan sebelum memasuki wilayah pantai. Layaknya laut mati, kadar garam di Pantai Tureloto tergolong tinggi dan hal ini membuat pengunjung bisa lebih mudah mempraktikkan renang melayang.

Selebihnya, Pulau Nias memiliki pantai berpasir merah yang dinamai Pantai Afulu, sesuai dengan nama kecamatan setempat. Pantai ini tidak saya temukan di Gongjin. Seperti julukannya, Pantai Afulu dihiasi pasir yang cenderung berwarna merah bata. Berbeda dengan dua pantai sebelumnya, pengunjung tidak bisa berenang di pantai ini karena tarikan ombak yang tidak bisa ditebak. Namun, pengunjung tetap bisa piknik dengan keluarga atau pasangan di pinggir pantai karena suasananya yang bersih dan memikat.

Sejujurnya, menjadi anak pulau yang sudah mengunjungi berbagai jenis pantai tidak menjamin saya akan bertemu pasangan seperti Hong Banjang. Namun, keindahan alam yang disuguhkan dari serial tersebut membuat saya sadar bahwa alam yang indah perlu dijaga kelestariannya. Cerita bertema komedi romantis yang menunjukkan sisi lain warga Gongjin itu menitipkan pesan tersirat, yakni bahwa kebersamaan gotong royong untuk membersihkan lingkungan adalah hal yang penting. Gongjin terlihat indah karena dijaga bersama. Begitu pun seharusnya Pulau Nias.

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.