Tanggal 7 Desember lalu, Ayahku berulang tahun untuk kesekian kalinya. Selama menjadi anak Ayah, tidak pernah ada perayaan khusus untuk ulang tahun. Mama jarang menyiapkan kue atau lilin yang menandakan penambahan umur. Kami dibiasakan untuk menganggap hari ulang tahun seperti hari biasa. Kalau ada rezeki berlebih, kami dibolehkan untuk berbagi, mentraktir teman, berjalan-jalan, atau merayakannya dengan cara masing-masing. Namun, hal itu semata-mata sebagai wujud syukur. Bagi Ayah dan Mama, tidak ada yang istimewa dari ulang tahun selain berkurangnya umur di dunia. Ulang tahun patut dihayati, tetapi perayaannya tidak perlu sampai mengundang badut ke rumah. Kata Ayah, hidup seharusnya dimaknai setiap hari, bukan hanya saat berulang tahun.

Ayah adalah idolaku. Mungkin cerita ini akan terdengar klise karena memang seharusnya begitu: Anak perempuan pertama yang jatuh cinta pada laki-laki yang merawatnya sejak kecil. Namun, aku cukup pede menyatakan bahwa Ayah adalah energi dari semua hal baik yang terjadi padaku sejauh ini.

Ayah terlahir dari keluarga sederhana berisi empat orang bersaudara. Ayah yang paling tua. Dari semua kemungkinan untuk meninggalkan pulau kecil tempat aku dilahirkan, Ayah memilih menetap. Adik-adik Ayah berhasil menemukan pasangan yang berasal dari suku yang berbeda dan meninggalkan Nias. Sebagai penafian, meskipun Mama juga asli suku Nias, sebenarnya Ayah punya banyak kesempatan untuk pindah dan tinggal di kota lain—yang menurutku dulu—lebih menjanjikan.

Saat aku duduk di sekolah dasar, Ayah pernah pergi ke Bandung dalam waktu yang lama. Kala itu, aku tidak paham penjelasan Mama yang mengatakan kalau Ayah sedang sekolah lagi. “Kenapa kalau sudah dewasa, masih tetap harus sekolah? Apa iya aku akan SD terus-terusan?” pikirku saat itu.

Waktu terasa cepat untuk anak-anak seusiaku. Ketakhadiran Ayah tidak terlalu berpengaruh karena aku sibuk dengan agenda sekolah formal pada pagi hari, dilanjutkan dengan sekolah Arab (sebutan untuk sekolah ibtidaiyah tiap sore), dan mengaji. Meskipun jauh, Ayah selalu menyempatkan diri untuk bertukar kabar melalui telepon. Sekali dua, Ayah juga mengirimkan sekotak penuh buku dari Bandung ke Nias.

Selepas lulus dari Bandung, Ayah kembali ke Nias dan melanjutkan pekerjaannya. Aku pernah bertanya, mengapa kita tidak pindah saja? Mengapa Ayah tidak melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi? Di Bandung, kan, ada banyak buku. Akan lebih menyenangkan bersekolah di sana. Mama juga pernah bercerita kalau Ayah menolak beasiswa ke luar negeri untuk studi lanjutan. Saat kutanya tentang hal itu, Ayah menjawab sambil bercanda, katanya, “Sudah cukup. Sekarang giliran anak Ayah yang harus sekolah.”

Bertahun-tahun kemudian aku mulai memahami jawaban itu. Ada banyak yang harus dipertaruhkan kalau Ayah pergi sekolah lagi. Yang paling utama, Ayah harus berpisah lebih lama dengan Mama dan kami. Ayah juga akan melewatkan masa kecil kami. Ayah menukar semua itu dengan hari-hari penuh tugas dan petualangan mencari kunang-kunang denganku dan adikku.

Menutup cerita ini, aku ingin berbagi satu kalimat favorit yang belakangan sering diulang lagi. Kata Ayah, “Kalau kamu mau buat Ayah bangga, kamu tumbuh sehat dan baik saja sudah cukup membanggakan. Gelar, lomba, dan kemenangan itu ada padamu, bukan pada Ayah, karena itu belajarlah sepuasmu.

 

 

 

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.