Menulis Komedi: Mencari Tohokan
Beberapa waktu terakhir, saya selalu terbiasa menghubungkan komedi dalam percakapan maupun tulisan saya. Entah mengapa, saya merasa komedi layaknya gula–porsi yang cukup–mampu mempermanis keadaan. Sebaliknya, terlalu banyak komedi juga membuat keadaan terlalu manis, dan seringkali membawa penyakit.
Salah satu hal yang biasanya harus cukup diperhatikan adalah tohokan (punch line). Tohokan biasanya adalah titik di mana seorang pelawak (atau penulis) tahu apakah premis yang telah disampaikannya telah tersampaikan dengan baik atau tidak. Tohokan yang berhasil biasanya menghasilkan tawa pendengar atau pembaca. Tohokan yang kurang berhasil (dalam komedi tunggal sering dinamakan “ngebomb”) membuat suasana menjadi canggung dan garing. Seseorang biasanya berekspektasi bahwa tohokannya mampu sampai ke pendengar sehingga tohokan yang tidak tersampaikan dengan baik, bisa menggoyahkan struktur cerita yang telah dibuat oleh pelawak.
Biasanya, ada satu hal yang saya gunakan untuk mencari tohokan: terus berpikir. Tohokan yang biasanya tersampaikan adalah tohokan yang dimengerti dan tidak terpikirkan oleh lawan bicara. Agak sulit memadukan dua hal ini karena referensi seseorang yang beragam. Terkadang, tohokan yang disampaikan adalah tohokan berdasarkan referensi si pelawak, yang belum tentu sesuai dengan latar belakang pendengar. Karena itu, penting mencari tohokan yang juga disesuaikan dengan latar belakang pendengar. Lucu menurutmu, belum tentu lucu menurut dia.
Selanjutnya yang tak kalah penting, pikirkan tohokan yang tidak pernah terpikir oleh pendengar. Semakin aneh tohokannya, biasanya semakin mungkin tohokan itu mengundang gelak tawa.
Contohnya:
“Saya pernah ke Jepang. Dulu, di Tokyo pernah ada kasus jalanan longsor. Beneran longsor. Jalanan itu ambles. Beberapa jam ke depan, jalanan itu udah mulus lagi. Kayak nggak ada apa-apa sebelumnya. Itu yang bikin saya percaya bahwa orang Jepang itu adalah orang yang perfeksionis dan selalu ingin semuanya cepat. Beda dengan orang Indonesia yang sepertinya udah biasa berdamai dengan keadaan. Kenapa? kemarin jalan di dekat rumah saya rusak. Nggak berapa lama, ada petugas pekerjaan umum dateng. Saya kira mau dibetulin jalannya. Taunya, dipasangin rambu “Hati-Hati Jalanan Rusak”.”
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.