Kematian
Seyogianya saya menulis artikel swalatih mengenai kebahasaan untuk edisi kali ini. Sudah begitu lama saya tak membuat tulisan soal hal tersebut. Pun saya belum pernah membahasnya dalam swalatih. Jadi, saya pikir, berlinguistik ria sepertinya akan menarik. Akan tetapi, itu ternyata tidak mudah.
Saya teringat, untuk menulis topik semacam itu, diperlukan pembacaan cermat atas sumber-sumber terkait. Itu jelas memerlukan waktu yang tak sebentar—dan saya sebenarnya sudah membaca beberapa. Sementara, tenggat sudah menunggu. Oleh karena itu, apa boleh buat, saya belokkan saja kemudi ini ke hal yang paling dekat: kematian.
Mengapa kematian begitu dekat? Pertama, kucing saya, Kimochi, mati awal tahun ini. Ia mati tepat sehari sebelum genap berumur empat bulan. Kimochi terserang virus panleukopenia. Lalu, kedua, beberapa hari lalu terjadi tragedi pesawat jatuh yang menewaskan semua penumpang dan kru yang bertugas di dalamnya. Ketiga, seorang ulama meninggal dunia pagi tadi sehingga berbagai media sosial dipenuhi berita tentang beliau.
Bicara tentang kematian, pikiran saya segera membuka ingatan akan sebuah novel yang pernah saya baca. Novel itu adalah The Stranger karya Albert Camus. Pada salah satu bagiannya, diceritakan bahwa Meursault—sang tokoh utama—menerima kabar kematian ibunya. Namun, seolah tak acuh, ia tak ingat hari ibunya meninggal. Bahkan, ketika dipersilakan melihat jenazah ibunya, ia enggan. Meursault juga tidak menghadiri pemakaman ibunya.
Mengapa Meursault begitu kurang ajar—menurut moral umum? Ada yang mengatakan bahwa ia—dan penulisnya—menganut nihilisme. Kematian hanyalah satu dari sekian peristiwa yang biasa terjadi. Semua orang pasti mati dan kita cuma tamu-tamu kecil di rumah yang mahaluas.
Apakah, dengan hal itu, perbuatan sang tokoh tampak masuk akal atau makin kejam? Coba bandingkan dengan yang satu ini. Menurut Jared Diamond dalam The World until Yesterday, ada suatu suku di Afrika yang bergaya hidup nomaden. Ketika berpindah, anggota suku yang sudah tua dan sangat lemah akan dibunuh. Alasannya, anggota yang demikian hanya akan merepotkan perpindahan.
Bagi orang yang amat menghargai orang tua, tindakan itu terkesan gila. Terlebih, dalam standar nilai hidup sebagian besar masyarakat, menghormati orang tua merupakan sikap yang dianggap sebagai kewajiban. Namun, bagaimana penilaian atas tindakan demikian jika dilihat dari kacamata suku itu sendiri atau bahkan dari si orang tua lemah itu? Lalu, bukankah mereka berkemungkinan sudah melakukan kebiasaan tersebut selama bertahun-tahun? Jika benar, setiap anggota suku itu tentu sudah memahami konsekuensi menjadi tua di sana. Jika seperti itu, kematian terasa sebagai hal yang wajar, sebuah jembatan kecil antara kehidupan fana dan kenyataan abadi.
Memang, keyakinan itu—sebagaimana tersirat dalam akhir paragraf di atas—hanya berlaku bagi orang yang percaya bahwa ada kehidupan lanjutan setelah kematian. Seperti kata Dream Theater dalam lagu “Fatal Tragedy”, “… death is not the end, but only a transition.” Bahkan, sebagian dari golongan tersebut percaya bahwa kematian adalah pintu reinkarnasi. Namun, bagaimana dengan pandangan orang-orang yang percaya bahwa kematian adalah akhir?
Saya mengenal seorang teman yang percaya bahwa kematian adalah penutup kehidupan. Di garis akhir itu, tak ada apa-apa setelahnya. Ia bilang, penciptaan terjadi begitu saja dan begitu pula pengakhirannya: begitu saja. Menurutnya, kita membuat seolah-olah kehidupan setelah kematian itu ada hanya karena manusia memiliki rasa takut dan lemah. Kemudian, masih menurutnya, alih-alih menyembah Sang Pencipta, kita hanya menjaga diri sendiri agar tidak masuk ke dalam neraka—jika itu pun ada. Betapa egois.
Atas hal-hal tersebut, kita dapat mengetahui bahwa pemahaman mengenai kematian sangatlah sukar untuk diseragamkan. Cukup lucu sebetulnya bahwa sesuatu yang pasti pun menumbuhkan ketidaksamaan, apalagi yang tak pasti. Akhirnya, kematian itu sendiri seperti ruang gelap. Kita tak tahu apa yang ada di sana.
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.