Saya pernah melihat sebuah video balap lari. Di antara kelima pesertanya, terdapat satu orang tua kira-kira berusia delapan puluh tahun atau lebih. Meskipun kakiknya sudah tak lincah dan postur tubuhnya miring ke kanan, ia tetap berlari hingga garis akhir. Saya kagum dengan sedikit bertanya dalam hati, apa motif kakek itu mengikuti lomba lari? Bukankah—jika melihat keadaannya—ia jelas akan kalah—dan akhirnya memang kalah? Apa yang ia kejar? Apa ia tidak takut tiba-tiba kakinya terkilir?

Mungkin memang tak perlu sejauh itu untuk menemukan motif atau alasan. Dan, tidak penting juga, sih, mencari-cari alasan. Siapa tahu, alasan kakek itu mengikuti lomba lari hanya karena kegiatan tersebut menyenangkan baginya. Karena itu, ia sudah tak ambil pusing soal kalah atau menang serta untung atau rugi. Mungkin memang begitu, ya: karena itu menyenangkan.

Saya kemudian teringat Joker dalam film The Dark Knight (2008). Ia merampok bank dan mengambil seluruh uang di dalamnya. Ia juga menjalin kerja sama dengan para mafia Gotham City untuk memperlancar aksinya. Akan tetapi, setelah mendapat begitu banyak uang dan menumpuknya seperti piramida, Joker membakarnya. “Ini bukan tentang uang,” kata Joker.

Sikap Joker turut membuat Batman pusing. Menurutnya, setiap penjahat punya tujuan. Untuk melumpuhkan para penjahat, Batman hanya perlu tahu tujuan mereka. Namun, Joker adalah jenis penjahat yang lain.

Setelah menganalisis Joker sekian lama dan tetap tidak menemukan pola atau tujuan kejahatannya, Batman—atau Bruce Wayne—mendapat pencerahan dari Alfred, perawatnya sejak kecil. Alfred bercerita, ketika ia di Myanmar, ada seseorang mencuri sebuah berlian. Semua orang mencari si pencuri dan berlian itu ke segala penjuru. Selama berbulan-bulan, mereka tetap tidak bisa menemukannya.

Tibalah suatu hari yang tak mereka duga. Mereka melihat seorang anak kecil sedang bermain benda sebesar bola rugbi. Ternyata, itulah berlian yang mereka cari selama ini. Lantas, Batman bertanya, “Mengapa si pencuri membuang berlian itu?” Kata Alfred, “Mungkin karena itu kegiatan yang menyenangkan bagi si pencuri. Mungkin karena ia menganggapnya sama seperti olahraga.” Pernyataan Alfred itu terjawab di bagian akhir film ketika Joker berhasil ditangkap oleh Batman. Kata Joker, “Kamu tidak akan membunuhku karena kamu merasa paling benar dan aku tidak akan membunuhmu karena kamu begitu menyenangkan.”

Hal-hal di atas hanya dua dari sekian banyak contoh tentang sesuatu yang menyenangkan. Hal menyenangkan lainnya adalah melakukan hobi, seperti bermusik. Bagi saya, bermusik—baik memainkan instrumen maupun mendengarkan lagu—adalah kegiatan yang menyenangkan. Entah sudah berapa lama saya mengalokasikan waktu untuk hal tersebut. Saya tak menghitungnya dan tak merasa perlu untuk menghitungnya. Begitu pula dengan biaya yang telah saya keluarkan untuk itu, seperti menyewa studio atau membeli berbagai peralatan. Saya tak punya alasan untuk memperhitungkannya.

Meskipun begitu, ada satu problem yang sering saya jumpai terkait hal menyenangkan. Seseorang yang melakukan sesuatu hanya karena itu menyenangkan seolah-olah harus punya alasan yang lebih masuk akal. Saya pikir, jika semua orang harus mencari-cari “alasan logis” dari sesuatu yang menyenangkan, kehidupan ini akan penuh kepura-puraan. Lalu, jika menyenangkan berarti menghasilkan keuntungan, akan ada banyak hal menyenangkan yang terbunuh hanya karena dicap tidak menghasilkan. Memelihara kucing, misalnya. Itu adalah kegiatan yang sama sekali tidak menguntungkan secara finansial, kecuali jika sengaja diternakkan. Namun, banyak orang memelihara kucing hanya karena hewan tersebut bisa menyenangkan si pemilik dan itu sah saja.

Yang jadi pertanyaan, apakah hal menyenangkan punya batas? Menurut saya, ada. Batasnya adalah kebosanan. Lantas, kebosanan itu pun dibatasi oleh kecapaian. Ketika sudah berada di tahap capai, seseorang akan memerlukan sesuatu yang menyenangkannya. Tidak terasa, itu semua menjadi siklus. Antara satu dan yang lain menjadi alasan bagi tahap selanjutnya. Jadi, ketika seseorang sedang melakukan hal yang menyenangkannya, mungkin ada hal lain yang membuatnya bosan atau capai.

Setelah melihat siklus atau pola itu, saya menyadari bahwa hal menyenangkan itu juga punya sisi buruk. Ia mendorong seseorang untuk bersifat konsumtif. Sifat itu mengandung keseriusan sekaligus kelucuan. Bagaimana keseriusan dan kelucuannya? Barangkali akan saya jadikan topik swalatih selanjutnya.

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.