Sore ini, saya baru saja mengalami kejadian yang sangat nano-nano. Geli, takut, prihatin, dan perasaan ingin tertawa ngakak tercampur jadi satu. Tentu saja, hal serupa juga dirasakan oleh teman-teman seperjuangan saya. Hal itu disebabkan karena sejak hari Senin kemarin, saya mengikuti UAS untuk bisa lulus dari semester lima yang penuh warna ini. Beberapa ujian berjalan seperti biasa, ada yang tertulis, ada yang berbentuk makalah, dan juga ujian lisan. Kebetulan, hari ini saya mendapat giliran mengikuti ujian lisan dengan mata kuliah berbau sejarah yang pengajarnya merupakan seorang dosen yang unik, usil, dan pastinya super galak.

Beberapa dari kami yang ketakutan sudah menyiapkan materi ujian ini dari hari-hari sebelumnya. Tidak mengherankan karena kami harus memahami ratusan halaman materi dan dari berbagai bahan tersebut, hanya ada tiga pertanyaan acak yang akan ditanyakan kepada kami. Sebenarnya, bukan ratusan bahan ajar yang membuat kami takut setengah mati, tapi keganasan sang dosen dalam mencerca mahasiswalah yang menjadi dalang kecemasan ini, ditambah ujian berbentuk wawancara melalui Zoom yang membuat para mahasiswa jadi makin deg-degan.

Perasaan nano-nano ini tercipta karena umpan balik dosen saya yang serba totalitas. Sang dosen sangat totalitas dalam memuji dan mencerca mahasiswanya secara bersamaan, perkataannya seringkali lebai, kejam, tapi juga membuat geli. Ada-ada saja yang keluar dari mulut dosen saya ini. Contohnya, saat mahasiswa kesulitan mendeskripsikan sesuatu, dosen saya yang cantik dan manis akan berbuat usil dengan menimpali, “Hayo hayo hayo, ngomong opo to koe, le, kamu mirip seperti ponakan saya yang masih berumur enam tahun dan sedang belajar bahasa Inggris.” atau, sang dosen akan senantiasa bergumam “Hmmm” berkali-kali untuk mengecoh mahasiswanya saat menjelaskan sebuah jawaban.

Di waktu lain, perkataan setajam silet juga dikeluarkan dengan rendah hati, seperti “Kamu ndak cocok jadi anak Sastra Inggris,” “Kemampuan kayak kamu begini pasti ndak lulus mata kuliah Morfologi. Saya prihatin,” “Kopi saya jadi ndak enak gara-gara kamu,” “Ini soal anak SMP yang gampang banget masa ndak bisa, you’re wasting my time. Belum ngopi, nih, saya!” dan masih banyak lagi perkataan yang membuat saya dan kawan-kawan seperti ingin hilang ditelan bumi.

Beberapa orang mungkin menganggap respons di atas sebagai pembunuhan karakter (Iya, saya setuju 60 persen). Namun, sebagai seorang mahasiswa atau orang yang tidak punya pilihan, tidak ada yang bisa dilakukan selain menerima dan berlapang dada. Meskipun perkataan dosen saya telah sukses membuat suasana hati 35 mahasiswa menjadi buruk semalaman, saya rasa perlu bagi kita untuk berkata “Ya udah, lah” dengan apa yang sudah terjadi. Tentunya, hampir semua mahasiswa di dunia ini memiliki pengalaman berhadapan dengan dosen usil yang ada-ada saja kelakuannya. Hampir semua orang pun pernah mengalami kenyataan pahit akan kegagalan, tidak peduli seberapa keras usaha yang dilakukan. Kadang yang terjadi memang ada-ada saja, jadi, ya sudah. Mari tertawakan saja!

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.