Rasa Syukur
Saya senang dapat belajar tentang bersyukur, sebuah ilmu kehidupan yang mahal karena perlu proses untuk memaknainya. Banyak kisah yang ternyata mampu mengubah hidup secara drastis dari sebuah ilmu yang bernama syukur. Makna syukurlah yang ternyata membuat saya dipertemukan dengan hal-hal kebaikan tempat saya membenamkan diri menjalani aktivitas, salah satunya ketika menjadi mahasiswa.
Juni 2019, saya sedang menjalani penelitian yang mengharuskan membuat rincian anggaran biaya dan menganalisis beberapa data hasil wawancara yang belum selesai ditranskrip. Selain itu, tiba-tiba dosen pembimbing menginformasikan lewat pesan singkat, masing-masing tim perlu mempersiapkan bahan presentasi untuk keesokan harinya karena akan ditinjau ulang sebelum waktu monev tiba. Saya yang saat itu merasa memiliki tanggung jawab sebagai ketua tim benar-benar merasa takut anggota saya kelelahan dan lewah pikir karena dalam sepekan kami berkutat pada revisian dan persiapan seminar. Saya yang akhirnya hanya berdiri sambil mendongak berusaha menahan air mata yang ingin meluap dan menyadari kondisi fisik yang lelah karena baru pulang dari luar kota untuk mengambil data. Tiba-tiba, teman saya, Irma, memeluk dan berucap, “Udah, Lis. Kamu pulang sekarang. Transkrip aku yang pegang. Nanti sampai rumah langsung tidur. Besok bangun pagi lanjutin buat revisian bahan presentasi. Ini coba aku tulis intinya dulu. Masalah rincian biaya udah aman sama Tata.”
Ucapan teman satu tim saya–yang sudah setahun silam–benar-benar masih terekam jelas. Rasa syukur saya atas bentuk pengertiannya sebagai rekan satu tim. Kalau dipikir-pikir, bagaimana dia bisa merespons demikian? Saya akhirnya pamit pulang dan sepanjang jalan berulang kali mengucap alhamdulillah atas nikmat mempunyai tim yang pengertian.
Setelah saya mulai pahami sedikit demi sedikit, proses memaknai kata syukur ini sebenarnya bukan hanya saat usai mengalami kejadian yang menyulitkan atau selamat dari kejadian yang mengenaskan. Hal-hal sederhana pun sering luput dari kacamata diri tentang makna bersyukur. Saat terbangun pagi hari, saya merasakan semua pancaindra masih dapat berfungsi dengan baik. Mata yang masih bisa melihat selimut yang berantakan, hidung yang masih bisa mencium aroma ayam lada hitam yang sedang dimasak Ibu, telinga yang bisa mendengar suara tetangga ngomel-ngomel entah karena berdebat masalah apa, lidah yang kemarin masih mengecap keasinan masakan ayam kuah sereh buatan sendiri, dan rasa perih karena kulit yang terkena percikan minyak goreng panas saat menggoreng ikan untuk adik.
Perangai syukur sudah diciptakan untuk manusia menjalani aktivitas di dunianya sehari-hari. “Jangan lihat ke atas terus. Coba banyak lihat ke bawah juga, ya.” Pesan Ibu itu semakin menyadarkan makna kebersyukuran. Saya seolah mendengar nasihatnya secara langsung. Saya tersenyum dan merasa malu terhadap Tuhan. Saya mengingat perihal doa yang meminta, bahkan cenderung menuntut ini dan itu, padahal rasa syukur begitu sederhana.
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.