Seperti Air
Mulai Covid-19 (kala itu, bahkan nama ini belum muncul) dipastikan pertama kali masuk ke Indonesia pada bulan Maret silam, sampai saat ini, sembilan bulan setelahnya, tak terhitung berapa kali saya mencopot, bahkan menonaktifkan akun media sosial saya. Yang paling lama, mungkin antara Mei hingga Juni. Padahal saat itu statistik siniar saya sedang bagus-bagusnya. Memang, kala itu, Podcast Bahasa, siniar saya sedang “naik-naiknya” karena terdapat konten edukasi Covid-19. Pada episode itu, saya berkesempatan mewawancarai kawan-kawan saya dari berbagai latar belakang yang berhubungan dengan pandemi ini. Yang paling banyak, dari latar belakang farmasi. Hal ini karena pembahasan mengenai vaksin yang liar beredar. Kebetulan, saya punya kenalan yang bisa diajak bicara mengenai hal ini. Selain itu, ada juga narasumber dari latar belakang psikologi dan latar belakang lainnya.
Salah satu alasan saya menonaktifkan media sosial saya adalah, saya merasa, saat itu dunia maya sangat gaduh sekali. Keramaian ini tidak seperti biasanya. Mungkin, karena banyak orang yang menghabiskan waktunya di rumah sehingga banyak pula yang menghabiskan waktunya di dunia maya. Keramaian yang saya temui tak seperti biasanya. Tak jarang, energi saya cukup terkuras setelah beberapa menit berselancar di media sosial. Sampai-sampai saya membatasi beberapa akun yang cenderung memancarkan energi negatif pada linimasa saya. Pada Twitter misalnya, terkadang ada beberapa perdebatan yang mungkin sama sekali tak berhubungan dengan saya, tetapi ketika membaca balasannya, energi saya seperti tertarik layaknya Dementor menarik kebahagiaan Harry Potter.
Sebelumnya, saya tak pernah selama ini tidak menggunakan media sosial saya karena alasan tertentu. Rasanya ternyata tak sesulit itu. Fear of missing out memang terkadang hadir tanpa kita sadari. Berselancar di media sosial terkadang bisa menguras habis energi karena pancaran negatif yang bahkan datang dari orang yang sama sekali tak kita kenal. Akun-akun pseudonim yang tak bisa dilihat siapa pemilikinya secara publik (saya pernah mengetahui, akun yang menghujat seseorang secara daring ternyata dimiliki oleh anak SMP berumur 13 tahun) terkadang memancarkan energi yang tak kita inginkan. Ketika sudah masuk ke genangan energi negatif itu, layaknya air, kalau tak bisa berenang dengan mahir, kita dengan mudah terbawa arus itu. Entah ke danau yang bersih dan nyaman, atau air terjun yang keruh dan menggulung-gulung.
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.