Berapa harga yang pantas untuk menghargai sebuah karya, seperti album musik, film, dan buku? Benarkah harga yang sering kita jumpai terlalu mahal? Setimpalkah harga yang kita bayar hanya untuk menikmati sekumpulan suara, sederet adegan, dan sebundel kertas?

Pertanyaan-pertanyaan di atas membuat saya teringat akan sepotong kisah di kampus dulu. Itu terjadi ketika saya masih berstatus mahasiswa baru. Sebagaimana mahasiswa jurusan sastra, saya dan teman-teman di kelas diminta untuk mencari buku penunjang perkuliahan. Hampir tiap mata kuliah mempunyai buku wajib yang harus didapatkan, seperti teori linguistik, teori sastra, dan novel. Saya—yang masih kaget dengan biaya hidup daerah ibu kota dan sekitarnya—merasa bertambah kaget ketika ada penugasan tersebut. Saya mulai menghitung-hitung biaya pembelian buku. Mampus, saya pikir. Belum sebulan berkuliah, saya “dirampok” dengan cara akademis. Inikah wujud perampokan paling ilmiah?

Beberapa buku saya dapatkan dengan cara meminjam kakak tingkat. Sisanya, mau tidak mau, harus saya beli. Baiklah, apa boleh buat, saya berangkat ke Gramedia. Kebetulan buku yang saya cari adalah novel. Meskipun hati sedikit menangis karena menyaksikan kepergian beberapa lembar uang, saya cukup senang karena berhasil mendapatkan buku yang diminta oleh si dosen. Setidaknya, buku itu dapat saya gunakan lagi lain waktu.

Di kampus, ketika bertemu teman-teman kelas, saya bertanya cara mereka mendapatkan buku. Salah satu dari mereka mengatakan bahwa ia mendapatkan buku itu di lapak buku-buku murah dekat kampus. Ia bilang, harga buku aslinya terlalu mahal. Lebih baik cari yang bajakan karena isinya, toh, sama saja, katanya lebih lanjut.

Di satu sisi, saya cukup tersentil mendengar jawabannya. Di sisi lain, saya tak dapat memungkiri bahwa saya pun agak menyesal tidak mendapatkan harga yang lebih murah. Ia bilang isinya sama. Betul juga, saya pikir sekilas. Lantas, saya mulai mempertanyakan alasan saya membeli buku asli. Mengapa saya harus membeli yang asli, jika yang bajakan isinya sama saja?

Itu tidak hanya berlaku untuk buku. Dua barang lain yang sering saya temukan dalam versi bajakan adalah film dan album musik. Isinya sama, meskipun tak sebaik aslinya secara kualitas. Harganya berbeda jauh. Bahkan, film bajakan dapat diunduh gratis di beberapa situs. Dalam konteks mahasiswa yang gembel, gratis adalah oasis di tengah impitan hidup yang miris.

Memang, selain mencintai, memahami juga butuh waktu dan momentum. Perlahan-lahan saya memahami alasan bahwa kita sebaiknya membeli barang asli. Setelah pikir-pikir, saya melihat bahwa hal yang sebenarnya kita bayar bukanlah harga, melainkan nilai dan proses-proses di balik sebuah karya. Di atas rak Gramedia, buku adalah buku. Akan tetapi, di baliknya, terdapat ide, konsep, tenaga, dan waktu yang dikeluarkan oleh si penulis.

Perihal buku, saya dapat mencontohkan novel Kura-Kura Berjanggut (2018) karya Azhari Aiyub. Novel bertema sejarah yang berjumlah lebih dari sembilan ratus halaman itu ditulis Aiyub selama dua belas tahun sejak 2006. Bayangkan, dua belas tahun ia menulis sambil meriset. Bahkan, pasti, sebelum kata pertama ditulis, ia sudah menghabiskan banyak waktu untuk memikirkan konsep novel tersebut. Nilai kegigihan dan proses itulah yang sesungguhnya kita bayar ketika membeli suatu karya. Belum lagi kalau kita memikirkan bahwa novel itu masih disunting oleh editor dan redaksi sebelum dicetak dan distribusikan oleh penerbit.

Begitu pula di dunia musik. Sebelum menjadi lagu atau album yang kita dengar atau beli, sang pemusik harus melewati berbagai proses. Pertama, pemusik memikirkan konsep yang akan ia tuangkan dalam karyanya. Contoh pemikiran konsep dapat kita perhatikan dalam album My Diary (2002) karya Mocca; Dosa, Kota, & Kenangan (2015) karya Silampukau; dan Metropolis Pt. 2: Scenes from a Memory (1999) karya Dream Theater.

Selanjutnya, pemusik masuk dalam penulisan lagu dan latihan. Setelah draf lagu selesai dibuat, pemusik masuk dalam proses rekam. Perekaman itu sendiri tidak sederhana. Ia harus merekam guide (acuan) dan musik penuh segala instrumen yang diperlukan. Terkadang, kesalahan terjadi pada proses itu sehingga pemusik harus berulang kali take (rekam). Hasilnya kemudian memasuki proses mixing (pemaduan) dan mastering (penyelarasan). Setelah itu, pemusik atau label mendistribusikan lagu atau albumnya. Keseluruhan proses tersebut dapat memakan waktu minimal tiga bulan. Itu baru dari segi waktu. Dari segi biaya, untuk pembuatan album pendek (EP) yang berjumlah lima lagu saja, pemusik mengeluarkan biaya sebesar tiga juta. Itu belum termasuk biaya latihan dan distribusi karya.

Sementara itu, dalam urusan film, berdasarkan informasi dari teman saya yang berkuliah di ISI, sebuah film pendek dapat menghabiskan biaya sebesar sepuluh juta. Selain itu, waktu syuting dapat menelan waktu hingga hitungan bulan, tergantung kebutuhan ruangan serta kondisi actor dan kru. Kru film juga harus melakukan perizinan jika memang membutuhkan tempat umum. Dan seterusnya, dan seterusnya, hingga saya pusing sendiri mendengar teman saya bercerita.

Setelah memahami hal-hal di atas, saya termenung sejenak. Harga buku seratus ribu, album musik tujuh puluh lima ribu, dan film di bioskop lima puluh ribu, apakah itu semua masih terlalu mahal? Lalu, kembali ke pertanyaan awal, berapa harga yang pantas untuk itu semua?

Saya masih belum tahu cara mengukur kepantasan itu. Yang dapat saya lakukan hanyalah dengan tidak menawar harga yang diberikan dan tidak membeli yang versi bajakan. Mungkin hanya itu yang dapat saya—atau kita—lakukan sebagai penikmat karya-karya tersebut. Toh, barang-barang itu sekarang lebih mudah didapatkan. Diskon-diskon buku sering bertebaran ketika ada tanggal penting. Lagu-lagu dapat didengarkan melalui Spotify, Joox, dan lain semacamnya. Film dapat disaksikan di Netflix atau Bioskop Online—dengan harga Rp5.000 saja!

Tentu, apresiasi seperti di atas tak hanya untuk buku, album, dan film. Semua hal, saya rasa, perlu dilihat lebih jauh. Masakan tak akan menjadi masakan jika tak ada pemasak dan pemasakannya. Segala hal berproses dan itulah yang membuat sesuatu menjadi bernilai. Betapa indah dunia ini jika kita mengetahui dan memahami proses tiap unsur-unsurnya, termasuk manusia. Sayang sekali, sebagai manusia, kita juga punya keterbatasan untuk mengetahui dan memahaminya. Dan, sayang sekali, kita memang hanya manusia.

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.