“Ketika kamu sakit karena sesuatu yang kamu suka itu rasanya …”

Oktober 2020. Hampir satu tahun lalu, pada bulan yang sama, saya merasakan sakit yang luar biasa. Cerita bermula dengan latar waktu pagi hari, sekitar pukul 06.30 WIB, sebelum saya berangkat ke kantor. Saya menjalankan rutinitas pagi saya, yaitu meminum kopi panas tanpa memakan apa pun sebelumnya. Setiba di kantor, saya menjalankan aktivitas kerja seperti biasa. Kala itu, kantor saya sedang mengadakan agenda tinjauan bisnis kuartalan dan saya bertugas menyajikan presentasi tentang perkembangan lini bisnis yang saya pegang di hadapan para direksi.

Menu makan siang pun disediakan oleh pihak penyelenggara tinjauan bisnis. Akan tetapi, entah mengapa, saya tidak tertarik menyantap makanan yang disediakan. Saya lebih memilih melakukan upaya lebih—turun ke lantai dasar dan mencari tempat makan, untuk mengisi perut yang sudah kosong sejak pagi. Saat di lantai dasar gedung kantor, saya memilih untuk makan di sebuah kafe yang memang menjadi tempat menongkrong saya dan teman-teman kantor lainnya. Pemilihan tempat makan tersebut sebenarnya bukan masalah. Yang jadi sumber masalah adalah pemilihan menu makan siang. Saya akui, saya bukan pemilih yang ulung. Dari sekian banyak menu yang enak, yang saya pilih adalah semangkuk mi instan—yang padahal di rumah pun bisa saya buat sendiri.

Usai makan mi instan di kafe tersebut, saya merasa sakit kepala. Saat itu saya berasumsi bahwa penyebabnya adalah kurang tidur. Oleh karena itu, dengan memanfaatkan sisa waktu istirahat, saya tidur sebentar di meja kafe. Sekitar 20 menit usai tidur, sakit kepala yang saya rasa tidak berkurang, justru semakin bertambah. Lagi-lagi saya berasumsi bahwa itu karena saya masih mengantuk. Saya pun akhirnya menuju Indomaret yang terletak di dekat parkiran untuk membeli sebuah kopi instan bermerek Nescafe. Dalam waktu 10 menit kemudian dari sejak saya bangun tidur, saya sudah menemui diri saya sedang berada di depan tempat sampah gedung sambil menatap kotak kopi yang sudah habis. Iya, secepat itu saya menghabiskan kopi instan tersebut.

Saya menunggu khasiat kopi yang baru saya minum dalam keadaan kepala yang semakin sakit. Tiga jam setelahnya pun, rasa sakitnya belum reda. Akhirnya, saya memutuskan pulang. Setibanya di rumah, saya langsung meminum obat sakit kepala lalu tidur. Sejam setelahnya, saya terbangun dengan kondisi kepala yang semakin sakit. Kala itu pukul 18.00 WIB. Saya membenturkan kepala saya ke tembok berulang kali. Ada sensasi yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata saat saya membenturkan kepala ke tembok tersebut. Yang pasti, saya merasa lebih enak. Puncaknya, pukul 19.00 WIB, saya sudah pasrah dengan segala kemungkinan terburuk. Saya bahkan sudah memikirkan bahwa saya akan berpulang. Sakit yang saya rasa semakin menjadi.

Saya kembali meminum obat sakit kepala, dengan dosis yang lebih tinggi. Berkat obat itu, sakitnya mereda sedikit sampai akhirnya saya tidak sadar dan baru terbangun besoknya pada pukul 05.00 WIB. Namun, pada saat saya terbangun itu, rasa sakit itu kembali muncul. Pada pukul 07.00 WIB, saya dibawa oleh ayah saya ke rumah sakit. Singkat cerita, saya diberi obat dan dianjurkan untuk merontgen otak jika rasa sakit itu belum hilang dalam waktu 7 hari. Obat yang diberikan oleh dokter tersebut memang meredakan rasa sakit, tetapi hanya sementara. Saat pengaruh obatnya sudah hilang, rasa sakit itu kembali muncul.

Besok harinya, saya dibawa ke rumah sakit yang berbeda. Dokter di rumah sakit yang kedua ini lebih ramah dan entah mengapa saya mudah menceritakan rasa sakit yang saya rasa. Pada akhirnya, dokter tersebut memberi diagnosis bahwa lambung saya sudah luka parah. Untuk membuktikannya, saya perlu menjalani tindakan gastroskopi. Jujur, saat dokter tersebut memberi diagnosis luka lambung, yang langsung terlintas di kepala saya adalah pertanyaan-pertanyaan yang paling sering muncul dari orang di sekeliling saya, “Des, kok kuat minum kopi berkali-kali?” Saya dengan sombongnya menjawab, “Iya, kan, lambungku kuat.”

Tindakan gastroskopi yang mesti saya jalani itu tidak secepat dan tidak semudah meneguk kopi. Bayangkan, ada alat yang masuk ke dalam tubuh melalui mulut. Sampai sekarang pun saya tidak bisa mengingat bagian mana yang indah dari proses itu. Usai tindakan, saya menjalani pengobatan yang bertubi-tubi dengan segala macam larangan dan pantangan. Saya sama sekali tidak menyesal. Saya tidak menyalahkan tragedi minum kopi atau kebiasaan buruk saya yang lalu. Jika saja saat itu saya tidak minum kopi, saya mungkin tidak tahu bahwa sebenarnya lambung saya sudah lelah dan sakit. Saya sangat berterima kasih kepada rasa sakit itu. Oleh karenanya, saya menjadi trauma minum kopi selama tujuh bulan. Sebagai penutup, saya ingin mengutip pernyataan ayah saya kepada tetangga, “Tidak ada yang bisa ngasih tahu anak ini, selain dirinya sendiri.” Iya, itu memang benar adanya.

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.