Jam yang aku genggam menunjukkan pukul 23.45. Lelaki itu masih berdiam diri. Tubuhnya seperti membatu di kursi ruang tunggu. Dia duduk sendirian dengan kedua tangan menopang dagu. Wajahnya kuyu. Sorot matanya sendu. Sesekali bibirnya bergemetar seakan sedang men-dremimil-kan sesuatu. Aku terus memperhatikan lelaki yang semakin lama semakin mencuri pandanganku.

“Permisi, Mas. Boleh saya duduk di sini?” ucapku sembari tersenyum.

“Eh … iya iya. Silakan, Mbak,” jawabnya kaget melihatku yang tiba-tiba datang.

Suasana nyatanya masih sama. Pemuda yang kini ada di sebelahku tetap dengan wajahnya yang kuyu. Aku bingung untuk memulai percakapan. Oh, Tuhan. Bantu pemuda ini untuk menyapaku lebih dulu.

“Mbak …,” kata pemuda itu tiba-tiba.

“Eh iya, Mas. Ada apa? Butuh bantuan? Saya berkenan untuk membantu,” tawarku tiba-tiba untuk memulai percakapan panjang dengan pemuda ini.

“Oh, nggak usah, Mbak. Saya mau tanya. Mbak ngapain di sini? Sudah tengah malam,” tanya pemuda itu.

Aku menjelaskan dengan jujur tentang mataku yang melihatnya duduk dengan keadaan khawatir. Aku bermaksud untuk membantu barangkali ada yang dibutuhkan.

“Mbak, saya sedang menunggu kepastian Ibu saya yang sedang berada di UGD sekarang. Kondisi saya sekarang tidak diperkenankan untuk melihat Ibu. Saya … saya ….” Ia tiba-tiba terdiam dan matanya meneteskan air mata.

“Maaf-maaf saya tidak bermaksud,” imbuhnya sembari mengusap mata.

Aku hanya diam mendengarkan. Percakapan kami terhenti setelah berjanji untuk berjumpa lagi keesokan harinya. Aku menawarkan bantuan untuk menjaga mamanya. Pemuda tersebut aku minta untuk pulang mengganti pakaiannya yang terkena bercak darah.

***

“Hai,” sapa pemuda yang tiba-tiba sudah berada di belakangku.

“Oh, ya. Halo, Mas. Inget nggak semalem belum sempet kenalan nama,” ucapku sambil berusaha mencairkan suasana.

“Johan. Hahaha maaf-maaf. Iya juga ya malah saya nangis di depan, Mbak,” ujarnya sambil malu-malu.

“Jihan,” jawabku sembari mengulurkan jaket yang semalam dipinjamkan Johan.

Aku mendadak diam dan kelu. Entah ada magnet apa yang membuat bungkam mulutku tiba-tiba.

“Terima kasih Jihan berkenan menjaga Mama saya.” Johan berkata membuyarkan bungkamku.

Kami menuju pujasera rumah sakit untuk sarapan. Aku berjalan di sampingnya sembari bergulat dengan pikiran sendiri. Masih terbayang, kok, bisa, ya, aku malah kenalan dengan lelaki asing ini. Namanya juga kembar Johan Jihan. Aku bergumam sendiri.

Johan menceritakan kejadian yang dialaminya kemarin. Ia benar-benar takut mama satu-satunya dalam hidup harus pergi. Ayah Johan telah meninggal semasa Johan masih bayi. Aku yang mendengar ceritanya ikut bersedih dan berusaha untuk mengalihkan pembicaraan supaya Johan tidak larut dalam sedihnya.

“Johan, kamu tahu apa yang membawa kita bertemu?” tanyaku tiba-tiba.

“Aku dengan rasa ingin tahuku dan kamu dengan kesedihanmu. Ini aku yang tukang kepo pengin tahu urusan orang,” jawabku dengan nada bercanda.

Aku senang Johan kembali tersenyum dengan candaanku yang garing ini. Aku tersenyum memperhatikan Johan tertawa dan larut dalam lamunku. Mamaku sibuk dan papaku juga. Setidaknya aku bersyukur aku masih memiliki kedua orang tua utuh. Aku terlalu menggurui Tuhan. Aku menuntut Mama seperti mama teman-temanku yang selalu ada di rumah.

“Hei … Halooo, Jihan …,” ucapnya membuyarkan lamunanku.

Aku kaget dan tiba-tiba meneteskan air mata.

“Are you okay?” tanya Johan.

Aku mengangguk dan berdalih tidak apa-apa. Padahal, aku sedang emosional karena keegoisanku yang tidak pernah mau berdamai dengan keadaan. Aku malu dengan Johan. Malu dengan Tuhan. Malu karena tidak pernah bersyukur dengan pemberiannya selama ini.

“Yuk, ah, balik. Kamu mendadak serem, deh. Nangis tiba-tiba, padahal tadi ketawa,” ucap Johan yang berusaha meledekku.

“Iya … bawel, ya, kamu ternyata,” ucapku pada Johan untuk menenangkan dirinya bahwa aku baik-baik saja.

***

Perjumpaan di food court ternyata perjumpaanku terakhir dengannya. Sudah tiga hari ini Johan hilang tanpa kabar. Bahkan pesan-pesan yang aku kirim tidak menemukan jawaban. Entah apa yang membuatku langsung sedih melihat kenyataan aku tidak dapat lagi berjumpa dengannya.

Adikku akhirnya diperbolehkan untuk pulang. Sudah dua minggu ternyata aku bolak-balik di rumah sakit ini. Kuterima nasibku menjadi kakak sulung yang harus siaga menjaga adiknya dalam kondisi apa pun.

“Halo, Ma. Waalaikumussalam,” kataku ketika mengangkat telepon dari Mama.

Aku baru duduk sebentar di sofa rumah. Mama mengabarkan dirinya sudah ada di bandara. Aku mengambil kunci dan bergegas ke sana.

Seperti perjumpaan pada umumnya antara anak dengan Ibu. Kukecup pipi kanan dan kiri Mama dan Mama memelukku sambil berkata, “Kangen banget sama anak kesayangan Mama.” Aku tersenyum, kemudian menggandeng mama untuk segera kembali ke rumah.

Koper Mama berisi banyak jajanan khas Manado. Sejenak aku pandangi Mama dan aku mengakui bahwa aku bangga memiliki mama sepertinya. Mama yang tangguh tanpa ditemani Papa. Mama yang siap keliling kota untuk menghadiri undangan menjadi narasumber. Ya begitulah kehidupan mamaku sebagai seorang trainer di perusahaan bonafide.

“Jihaaan … Kamu ngapain ngeliat Mama kaya lihat hantu?” Suara Mama membuyarkan lamunanku.

“Ma, adik baru aja, lho, balik dari rumah sakit,” jawabku.

“Mama, tuh, nanya kamu ngapain ngeliat Mama sampai bengong gitu? Ih, Kakak kenapa, sih?” omel Mama.

“Hahaha. Aku, tuh, kangen sama Mama,” jawabku sembari mencium pipi kanan kemudian bergegas menuju ke kamar.

***

Kulihat layar ponsel berdering lima kali. Tertulis Johan. Aku gugup sekaligus bahagia Johan tidak jadi meninggalkanku.

“Halo, Johan? Maaf, ya, aku tadi abis jemput Mama dan lupa bawa HP,” ujarku.

“Maaf juga, ya, pesanmu baru aku balas. Mamaku meninggal, Jihan.”

Kabar itu bagai gemuruh yang datang di saat raja siang sedang asyik bertugas. Aku terdiam dan air mataku mulai menetes. Aku merasakan seperti ada gejolak rasa sakit yang timbul. Meski Johan baru kutemui dan mamanya belum pernah aku lihat, rasanya seperti sama-sama merasakan sakitnya kehilangan orang tersayang.

Johan mengirimkan alamat rumahnya. Aku merasa itu merupakan tanda Johan ingin aku ke rumahnya. Ya, meskipun tidak secara gamblang dinyatakan Johan. Entah rasa kepercayaan diriku berkata demikian.

Baru saja berada di halaman rumahnya, aku merasa gugup. Johan yang kemudian datang lalu menggandengku menuju ke halaman belakang. Sejenak hening karena aku korselet. Ya, aku canggung sekarang. Oh, Tuhan, ini perasaan apa. Tidak mungkin, kan, kalau aku sudah jatuh cinta kepadanya. Lemah sekali hatiku mudah luluh.

“Kebiasaan,” ucap Johan yang tiba-tiba mendekatkan suaranya di telingaku.

“Kamu, tuh, bengong gitu mikirin aku, ya?” imbuhnya sambil menjulurkan lidah tanda meledek.

“Aku turut berduka cita atas kepergian mamamu, ya,” ucapku pertama kali.

Dari jauh aku melihat orang yang seperti Mama. Johan yang masih asyik berbincang tentang dirinya yang dikejar anjing langsung mengalihkan perhatianku. Lama-lama aku semakin yakin itu benar-benar Mama yang berdiri di sana. Johan memperhatikan kemudian berkata orang itu adalah teman mamanya.

“Mama,” panggilku.

Muka Mama terlihat panik. Aku pun segera menemui Mama. Johan mencium tangan Mama dan aku memperhatikan kecanggungan Mama saat itu. Aku dan Mama memutuskan untuk pamit. Johan mengiyakan dan sekali lagi aku ucapkan pada Johan ungkapan rasa duka citaku padanya. Rasaku menyesal untuk tidak meninggalkan Johan terkalahkan oleh penasaranku pada Mama.

“Mama sering, ya, main ke sana?” kataku membuka percakapan di tengah situasi Jakarta yang macet.

“Enggak. Mama jarang ke sana,” jawab Mama singkat.

“Johan bilang Mama itu teman mamanya Johan. Mama tahu kabar ini juga? Dari siapa?” tanyaku.

Pertanyaanku tidak terjawab. Mama menanyakan sejak kapan aku berkawan dengan Johan. Penjelasan jujur aku ceritakan pada Mama. Kulihat raut muka Mama terlihat bingung seperti ada sesuatu yang disembunyikan.

“Mama, awas!” teriakku.

Mama hampir saja menabrak kucing. Rasa penasaranku makin memuncak. Peristiwa ini semakin membuat konsentrasi Mama buyar. Akhirnya, Mama mengizinkan aku menggantikan posisinya menyetir. Aku menyudahi pertanyaan. Kuputuskan untuk diam dan membenamkan pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk.

***

Sejak peristiwa di rumah Johan, Mama terlihat jarang berbicara. Pertanyaanku dijawab singkat. Padahal, Minggu malam Mama akan kembali pergi untuk bekerja. Rasa sedihku kini bercampur kesal. Entah kesal yang campur aduk dengan aku yang tidak tahu titik permasalahan dan Mama yang hanya diam. Kubenamkan tubuhku ke dalam selimut tebal dan aku pun terlelap tidur.

Tengah malam aku terbangun. Kerongkonganku kering. Semalam aku lupa minum susu. Kuputuskan untuk ke dapur. Kulihat Mama sedang duduk bersimpuh di ruang ibadah. Mama bahkan tidak menyadari kehadiranku. Aku yang masih berdiri di belakangnya dan mendengar Mama berdoa tentang aku.

“Pyar ….” Gelas susu yang berada di tanganku pecah jatuh ke lantai.

Aku berlari menuju kamar. Aku tak kuasa mendengar doa mama tadi. Akhirnya rasa penasaranku terjawab sudah. Namun, rasa sakit kini membekas dalam hatiku. Tubuhku terduduk lesu di balik pintu. Entah sudah berapa puluh kali Mama mencoba untuk masuk ke kamarku. Aku hanya bisa diam.

Kudapati tubuhku masih di balik pintu. Ternyata semalam aku ketiduran di balik pintu. Aku sekarang bingung. Bagaimana harus berhadapan dengan Mama. Kuputuskan untuk membasuh tubuh dan berwudu. Suasana Subuh kali ini berbeda. Aku menceritakan semua pada Tuhan dan berharap memperoleh sedikit ketenangan.

Mama mengetuk pintuku. Aku dengan mata sembab mengurungkan niat untuk membuka pintu.

Sore hari tiba, aku masih duduk di kasur. Perutku mulai tidak bisa berkompromi. Aku putuskan keluar dan kudapati Mama yang tiba-tiba memelukku.

“Maafkan Mama. Maafkan Mama. Nak, Mama bisa jelaskan semua. Mama mau kamu tenang terlebih dahulu. Mama menunggu waktu yang tepat untuk cerita ini sama kamu,” ujar Mama lembut dengan posisi masih memelukku.

“Ma, aku laper,” jawabku sambil berusaha menahan air mata yang hampir jatuh.

Malamnya Johan sudah berada di rumahku. Mama yang mengundang Johan untuk makan malam di rumah kami. Aku kikuk saat ini. Perasaanku kalut. Suara sendok dan garpu mengiringi makan malam yang hening.

“Tante, Jihan sakit, ya?” Tanya Johan tiba-tiba.

“Kak Jihan,” panggil adikku sambil mencolek tanganku.

“Eh, iya, iya. Ada apa?” jawabku.

“Kamu kenapa, Jihan? Bengong mulu dari tadi. Itu ayamnya dimakan cepet keburu kabur.” Johan berusaha memecah keheningan dengan candaan.

Sayangnya, raut mukaku tidak dapat berbohong. Mama mengajak Johan dan aku ke kamar. Aku menyadari sesuatu. Mama pasti akan membicarakan hal semalam. Kulihat Johan hanya menurut dan raut mukanya tetap tenang.

“Anakku, Jihan, sini duduk sebelah Mama. Johan kamu sebelah kiri sini, ya, Nak,” ucap Mama.

“Anakku, Jihan ini pasti hal berat untukmu. Mama minta maaf baru bercerita saat ini. Mama merasa kamu tidak perlu tahu tentang ini. Tapi, takdir ternyata menemukan kalian berdua. Bahkan, Mama tidak tahu harus bagaimana mulai bercerita.” Mama mulai menjelaskan.

“Nak Johan, kamu memiliki mama yang kuat dan hebat. Kamu pasti menyadari itu, kan? Papamu meninggal saat mamamu sedang berjuang melahirkan. Tante yang saat itu menjadi sahabat mamamu hanya bisa berdoa dan menemani proses kelahiran. Mamamu melahirkan bayi kembar. Sekarang tepat berada di sebelah kiri dan kanan saya. Mamamu saat itu berada di kondisi bingung harus bagaimana membesarkan kedua anaknya yang baru lahir. Kemudian, terbesit di pikirannya untuk menyerahkan Jihan dirawat oleh Mama. Jihan, sudah lima tahun Mama menantikan anak. Tuhan memberikan karunia lain lewat Jihan, puteri kesayangan Mama,” jelas Mama lembut sembari mengusap rambutku.

Aku pun terdiam sambil bersandar di bahu Mama. Rasa yang ada dalam benakku saat ini adalah ketenangan bukan lagi amarah. Tenang karena aku ternyata memiliki saudara kembar. Saudara yang telah berpisah dua puluh tahun lamanya. Johan namanya. Pemuda yang tidak sengaja kutemui malam itu. Pemuda yang membuat hatiku bergejolak ingin menyapa.

“Halo, Kakak,” sapaku untuk pertama kalinya pada Johan.

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.