Rapat koordinasi sedang berlangsung. Dari balik gordennya itu, aku bisa melihat binar matanya kian menyala tanpa fokus. Gerak-geriknya mengisyaratkan bahwa ia sedang kelimpungan. Untung saja, Zoom menyediakan fitur untuk mematikan video. Jika tidak, sudah pasti ia ditegur karena tidak menyimak sebagaimana mestinya.

Lima menit setelahnya, kulihat ia bergerak ke pojok kamar. Laptopnya terpantau masih mengeluarkan bunyi gaduh sekumpulan orang yang membahas perkembangan bisnis. Di pojok kamarnya itu, ia mengubrak-abrik isi ranselnya. Saat semua isi ransel sudah berserakan, ia kemudian mengambil ponselnya—mencoba menghubungi seseorang, entah siapa.

Sepertinya, orang yang ia hubungi tidak memberi respons—terlihat dari tingkahnya yang kian semrawut. Ia pun meletakkan ponselnya secara sebarang, lalu keluar kamar dan berteriak menanyakan sesuatu. Sebenarnya, tanpa ia berteriak pun, seisi rumahnya yang bernyawa sudah mampu mendengar. Raut wajahnya makin tampak kebingungan saat dua orang yang ditanyai menggelengkan kepala sebagai bentuk jawaban tidak. “Lagian, sih, kebiasaan banget,” ujar salah seorang yang ia tanyai. Samar-samar kudengar kalimat itu berkembang biak menjadi sebuah wacana dan berpotensi menjadi wacana hortatoris.

Ia hanya diam, tidak memberi respons atas tuduhan “kebiasaan” itu. Ia merasa tak ada gunanya meladeni “ceramah”. Yang ia lakukan setelahnya adalah kembali ke depan laptopnya untuk mengikuti rapat yang masih berlangsung. Namun, ia tidak benar-benar kembali. Kepalanya dipaksa mengingat peristiwa yang berplot mundur. Seketika saja kepalanya menjelma panggung sorot balik.

Kini, dirinya sedang berada dalam adegan hari kemarin. Aku turut menyaksikan rangkaian peristiwa yang terjadi dalam kepalanya itu. Aku melihat jelas dirinya sedang memegang dua ponsel di depan mesin ATM. Dua meter darinya, terlihat seorang laki-laki yang kuduga sedang menunggu ia kelar mengambil uang. Nah, sangkaanku benar! Lima menit setelahnya, tampak ia berdebat ringan dengan laki-laki itu, lalu mereka berjalan menuju parkiran, masuk ke mobil yang dikemudi oleh si laki-laki, dan lenyap. Ia kembali tersadar dan lantas membuka aplikasi iMessage yang ada di laptopnya. Kini, aku bisa menyaksikan jelas jarinya mengaktifkan fitur kapital pada papan tombolnya.

“BARU SADAR, HP YANG SATU LAGI NGGAK ADA, KAYAKNYA KETINGGALAN DI MESIN ATM YANG KEMARIN,” tiknya untuk laki-laki itu. Aku tidak berani menduga seperti apa respons si laki-laki—yang kebetulan sedang bergabung dalam ruang rapat yang sama dengannya, saat mendapati pesan tersebut.

Ini sudah kali kesekian pesan bernada serupa ada dalam riwayat obrolan mereka.

“KARTU ATM KETINGGALAN, NIH.”

“BUKU KETINGGALAAAAAN DI MOBILLLL!”

“ASTAGFIRULLAH. IPAD KETINGGALAN.”

CASAN HP KAYAKNYA KETINGGALAN DI KFC.”

Ia segera teringat sebuah kutipan milik Arifin C. Noer yang berbunyi, “Kita tidak pernah memiliki apa-apa, tetapi selalu merasa kehilangan.” Dalam sekejap, kutipan andal itu sudah memenuhi ruang sadarnya. Setelah itu, suasana hening. Ia kembali menyimak rapat dan menyalakan kamera, lalu perkara ketinggalan hanya menjadi angin lalu.

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.