Mata Agus Pencot terbelalak begitu membuka daun pintu tripleks yang berlumur cendawan. Di hadapannya, terbujur sesosok jasad yang raut mukanya samar tersaput temaram senja. Meski begitu, dari riwayat penghuni kontrakan, Agus yakin, seonggok tubuh itu tidak mungkin lain pasti Iwan Soak.

Saat Agus hendak beranjak meminta bantuan, secarik kertas yang tergolek di atas meja memaku langkahnya. Menemukannya seperti menarik balik ingatan Agus akan amanat janggal Iwan tadi malam.

Sambil mengatur degup jantungnya, ia coba mendekati kertas itu demi mengintip tulisan di atasnya. Begitu terbaca, ia lekas melesat, berlari, dan berteriak meminta tolong.

Apa juga arti ungkapan “yang terbujur lalu, yang terlintang patah” di selembar kertas itu?

Mau mati saja sok puitis kau, Wan!

—–

Malam itu, kursi plastik di warung kopi Mang Engkus masih berlonggok, tak seperti lazimnya menyebar dan berserak diduduki orang. Di kesepian itu, Iwan Soak tampak serius menyaksikan tayangan berita tentang demonstrasi gabungan warga-mahasiswa yang disebut terbesar setelah aksi ’98. Ia terpaku pada tayangan itu, seolah tersedot masuk ke dalam peristiwa tersebut.

Sekitar 22 tahun lalu, Iwan adalah aktivis sosial tingkat kampung yang beroleh simpati dari warga sekitar. Ia dikenal rajin membantu warga meski hidupnya sendiri begitu kepayahan. Kata orang, kelakuan Iwan itu mirip ayahnya, Sarimin.

Namun, sikap Iwan berubah setelah ia dan karibnya, Agus Pencot, terlibat aksi pada ’98. Bentrokan yang melibatkan pendemo dengan aparat menyisakan luka yang mendalam bagi keduanya.

Tungkai kiri Agus tertumbuk puluhan kaki dan kepala Iwan terkena injakan dan gocoh keras dari orang tak dikenal. Meski selamat dari maut, cacat permanen di kaki Agus dan kepala Iwan tak terhindarkan.

Sejak peristiwa itu, Iwan menjadi sosok yang pasif dan pendiam. Ia menarik diri dari kegiatan sosial. Sikap itu semakin kuat setelah ia mendengar suara warga yang malah menyalahkannya karena ikut-ikutan demo berdarah itu.

Nostalgianya mendadak buyar saat Agus yang baru muncul di warung kopi menepuk pundaknya. Saat itu, tayangan televisi sudah bersalin siaran dengan berita seputar lembaga anti korupsi yang katanya dikebiri.

“Yang diam selamat, yang melawan kiamat,” kata Iwan seraya berlalu pergi.

“Omong apa si, Wan? Jadi ikut jaga bazar enggak besok malam?” tanya Agus kemudian.

“Enggak. Oh, iya, Gus, besok sore sedikit lepas magrib, aku punya surat wasiat buat kau,” pekik Iwan sambil terus melanjutkan langkah.

—–

Iwan Soak menatap dalam-dalam secarik kertas yang pernah ditulis ayahnya, Sarimin, sebelum berpulang.

Ia masih mengingat kejadian puluhan tahun lalu saat Sarimin pulang dengan napas tersengal dan wajah berpupur lebam. Kata rekannya sesama seniman jalanan, Sarimin dikeroyok orang saat terjadi bentrokan antara peserta aksi dan aparat.

Sepekan setelahnya, Sarimin terbaring tak berdaya. Ia kemudian berpulang dengan hanya meninggalkan selembar kertas berisi tulisan sebagai wasiat.

Yang terbujur lalu, yang terlintang patah.

Januari ’74

Kini, Iwan memahami maksud ungkapan itu. Jangan pernah menentang keadaan kalau mau hidup selamat. Hiduplah biasa saja kalau tak mau binasa.

Rupanya, bagi Iwan, yang binasa itu sungguh niscaya. Lantas, buat apa lagi menundanya? Toh, hidup selamat tidak menjamin sebuah kehidupan itu sendiri.

Dalam kondisi itu, botol cairan antiserangga di tangannya seolah memberi jawaban atas masa depan Iwan.

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.