Sudah sejak dulu Ami memimpikan ini.

Ia tak pernah tahu rasanya sebab kesempatan untuk duduk di depan–di samping pengemudi–selalu milik Arya. Jadi, ia sendiri tak tahu bagaimana bisa ia memimpikannya. Namun, saat Ami benar-benar melihat jalan di depan mereka tanpa penghalang, selain kaca yang memisahkan kebisingan di luar dengan dengung konstan dari radio, Ami tahu apa yang ia inginkan.

Ayahnya menyetir; Mbak Asti dan Arya berebut penganan di belakang; Ibu melerai mereka dan sibuk membaca peta di ponsel. Ami akan menyeringai lebar di tempatnya, tak lagi terganggu grusak-grusuk Arya yang meminta diambilkan minuman atau Mbak Asti yang menyuruhnya menurunkan suhu pendingin. Ia akan dengan tenang merekam berbagai bangunan dan plang jalan dengan matanya, berjaga-jaga jika suatu kali mereka lewat lagi dan Ayah ingin makan rawon atau soto di perjalanan.

Itu tidak berarti Ami tak menikmati perjalanan mereka selama ini. Tetapi, duduk di depan memberikan sensasi yang lain. Mungkin karena Ami tak pernah merasakannya sebab sebelum ia besar, Mbak Asti lebih dulu menjadi teman bicara Ayah, mengingat kakaknya itu tak pernah bisa tidur sepanjang perjalanan. Lalu Arya, yang hanya berjarak dua tahun dari Ami, tiba-tiba tumbuh meroket melebihi kakak-kakaknya sehingga daripada lututnya terantuk bangku pengemudi, ia dengan takzim mengambil alih posisi kopilot.

Ami tak pernah punya kesempatan untuk duduk di depan jika mereka bepergian. Ami tak pernah meminta dan hanya dirinya yang tahu bahwa itulah bentuk kedewasaan yang ia amalkan: mengalah. Ami berharap hal itu akan lebih mudah jika saja ia anak tertua, tapi ia adalah anak kedua: anak tengah yang seringkali terimpit kekerasan hati kakaknya sebagai anak sulung dan kemanjaan adiknya sebagai anak bungsu.

Jika diingat-ingat, Ami tak punya masa membelot seperti kakaknya yang kabur dari rumah karena tak diizinkan menjadi penari atau adiknya yang ketahuan merokok di warung Mbok Darmi. Mungkin karena itulah Ibu lebih percaya kepadanya. Namun ini, duduk di depan bersisian dengan pengemudi, adalah salah satu keinginan terbesar Ami sebelum kelak ia cukup usia untuk menyetir sendiri.

Dari tempatnya sekarang, nun jauh terpisah dari lamunannya, Ami melihat jalan berkelok dan rumah-rumah yang berkejaran ditiup angin. Lampu-lampu jalan membias di kaca jendela, tepat seperti yang Ami bayangkan. Satu-dua plang disinari lampu neon yang dikerumuni laron, tapi Ami terisolasi dari itu semua. Hal yang menyadarkannya hanya dengung pendingin yang tak bekerja maksimal dan radio yang kehilangan sinyal.

Dari spion tengah, Ami berusaha menangkap bayangan kakaknya. Mbak Asti tampaknya memilih untuk tidak bersuara. Lalu pengemudi di samping Ami berdecak. Jalanan mulai padat sebab kini mereka terimpit orang-orang yang pulang kerja. Orang-orang yang lalu lalang itu mungkin tak memahami kegelisahan mereka sebab semua punya rumah untuk dituju. Demikian pula kendaraan yang Ami tumpangi. Ia harus tiba di rumah sebelum malam benar-benar pekat melingkupi.

Seperti membaca pikiran Ami, suara keras memekakkan seketika terdengar.

“Kalau nggak begini, nggak bakal sampai, Mbak.”

Di belakang mereka, derak keranda mulai terdengar. Ami kembali melirik Mbak Asti dan hatinya terenyuh melihat kakaknya berusaha memegangi keranda Ayah dan adik mereka yang mulai bergoyang seiring bertambahnya kecepatan kendaraan.

“Ibu juga sudah menunggu untuk disalati.” Ami bergumam lemah.

Pengemudi di samping Ami mengangguk simpati. “Pasti bisa dimakamkan bersamaan, kok, Mbak. Tenang saja.”

Lampu lalu lintas menunjukkan warna merah, tapi mereka sepakat dalam diam untuk mengabaikan tanda apa pun yang tampak di sana dan melarikan kendaraan sekencang-kencangnya.

Lewat genang air di matanya, gumpalan tak enak di tenggorokannya, dan sirene yang memecahkan telinganya, Ami mengingat baik-baik pengalaman pertamanya duduk di depan.

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.