Wajah-wajah lelah mengiringi kaki-kaki yang bergerak mengejar kereta terakhir tujuan Bogor malam itu. Kehidupan ibu kota yang tak kenal lelah membuat manusia tidak ada bedanya dengan bakteri: bergerak, padat, merayap, dan tidak berhenti. Hiruk pikuk ibu kota memaksa badan mereka untuk terus bergerak karena pilihannya hanya dua: mengejar atau ditinggal. Tentu saja mengejar mau tidak mau yang dipilih. Semua orang ingin segera pulang, ‘kan?

Pulang menjadi makna yang sangat melankolis bagi sebagian orang. Pulang adalah tempat beristirahat dari segala penat yang tidak berkesudahan. Pulang tidak selalu tentang bangunan kokoh yang berdiri tegak dan menyiapkan pintu untuk dibuka. Pulang lebih dari itu. Kadang ia juga hadir dalam bentuk rasa yang hangat dan menenangkan.

Selain sampai dengan selamat di tujuan, sesungguhnya ada hal yang membuat kepulangan menjadi sangat berharga, yakni waktu yang terpakai dalam perjalanan pulang atau yang dalam tulisan ini saya sebut menunggu.

Menunggu mungkin memiliki makna konotatif negatif bagi sebagian orang. Siapa yang suka menunggu? Untuk apa membuang-buang waktu tanpa melakukan apa pun agar sesuatu segera sampai kepada kita? Itu bukan pilihan yang menyenangkan, ‘kan?

Akan tetapi, kali ini saya tetap akan bicara tentang menunggu. Menjadi mahasiswa rantau membuat saya selalu menunggu liburan akhir semester agar bisa segera pulang ke rumah. Menunggu membuat saya perlahan-lahan mengerti hakikat penting dalam kepulangan itu sendiri.

Perjalanan pulang tidak akan pernah lepas dari menunggu, termasuk menunggu kereta listrik yang penuh sesak pada malam itu melaju menuju tempat pulang. Berdiri di dalam kereta yang penuh sesak dengan ponsel yang kehabisan daya membuat saya terpaksa memperhatikan banyak hal. Seorang anak yang bersenda gurau dengan ayahnya. Seorang bapak paruh baya yang terkantuk-kantuk sambil bersandar pada dinding kereta. Lebih banyak lagi kepala-kepala menunduk dengan gawai di tangan mereka. Tidak banyak yang saling berbicara satu sama lain. Mereka lebih memilih tenggelam dengan kehidupannya sendiri di tengah sesak kereta malam itu.

Ada satu hal yang menarik perhatian saya, yakni seorang anak yang sedang bersenda gurau dengan ayahnya. Sepanjang perjalanan hingga saya turun, mereka terlihat sangat hangat satu sama lain. Bahkan, rasa itu juga menghangatkan hati saya yang melihatnya dari kejauhan. Saya mendengar anak perempuan—yang kira-kira berumur 10 tahun—itu beberapa kali bertanya pada ayahnya. Terkadang, pertanyaannya terdengar konyol dan membuat saya tergelak. Ayahnya menanggapi dengan penuh kasih sayang. Pasangan ayah-anak itu terlihat kontras sekali di tengah kereta yang hening dan orang-orang dewasa yang kelelahan.

Melihat pasangan ayah-anak itu membuat saya sadar bahwa menunggu mungkin bisa berarti banyak hal. Tidak selalu menyebalkan. Mungkin, menunggu justru mengajarkan kita tentang kehidupan–yang tidak kalah penting dari kepulangan yang ingin kita capai.

Perjalanan di kereta malam itu membuat saya kembali merenungi arti dari penantian, arti dari menunggu. Bagi saya, menunggu adalah hakikat dari perjalanan itu sendiri. Menunggu adalah perkara seberapa tangguh, kuat, tulus, hingga sabar jiwa dan raga kita menjalaninya. Menunggu membuat saya lebih menghargai waktu dan mengambil jeda sejenak dari kehidupan yang penuh tekanan dari berbagai arah. Menunggu membuat saya sadar bahwa terkadang tujuan akhir itu bukanlah satu-satunya alasan mengapa kita harus bertahan.

 

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.