Ini sudah malam. Sunyinya membuat alergiku terhadap dingin memilih diam dan tak berbicara. Duduk berdua di pinggir jalan dengan mangkuk di tangan. Entah fokus menghabiskan atau saking bahagianya.

Senyummu ditarik lebih lebar untuk menunjukkan bahwa kau memang sedang bahagia. Aku melihatnya. Bahagia membuat wajahmu terlihat lebih cerah meski hanya diterangi lampu temaram. Aku tidak peduli sedingin apa pun udara malam itu karena yang penting bagiku adalah aku tidak berkeringat. Detik itu pun aku sadar, aku akan membutuhkanmu dalam waktu yang lama untuk sebuah masa depan.

Aku tahu ada senang yang menyetubuhiku. Keberadaanmu di hadapanku seakan memeluk ragaku yang mulai merasa benar-benar nyaman. Kamu selalu ada di keramaianku, bukan hanya di pikiranku. Kamu selalu menyertaiku. Namun, aku tidak tahu, apakah hanya aku sendiri yang mendambakannya?

Sunyi masih bersembunyi sampai aku mampu menahan perasaan untuk memberontak dan menyatakannya. Aku hampir saja didesak oleh waktu. Namun, aku berjanji bahwa tak akan memberikan segores pun pengakuan tidak pasti. Aku sedikit menghela napas. Aku berusaha menggenggamnya sendiri dengan sangat kuat agar ketika kau mendekapku erat aku masih bisa bernapas. Meski genggaman ini terasa kosong seolah aku hanya menyimpan udara yang tak bernyawa.

Pelan-pelan, aku melihat matamu. Mata yang berbinar di pinggir jalan masih dengan senyum dan suaramu yang kental berlogat Jawa. Bagaimana caramu menyendokkan wedang, caramu tersenyum, tertawa, mengedip, mendesis, bahkan caramu menatapku, aku memperhatikannya. Terakhir, aku terpana. Mendadak gelap semakin nyata dan aku hanya melihat bayanganmu dari bawah: tidak sempurna.

Mungkinkah kamu menyimpannya sendiri dalam kluis pribadimu? Mengenai perasaan yang dikurung dalam emosi sejiwa dari tubuh yang berdiri sendiri? Dalam sunyi itu, aku mendengar suaramu. Aku mendengar dengan saksama. Hanya aku yang mendengar dan mengaminkan.

Tawamu memecah ruang waktu dan memaksaku mencernamu lagi dan lagi. Mari kusimpan lagi semua memori yang kau beri satu malam itu: bagaimana kita berjalan bersama, makan bersama, duduk berdua, dan di dunia itu hanya ada aku dan kamu. Biarkan aku menjadi pelipur ketika kamu lara, memelukmu sesekali sampai habis hilang rinduku, mengecupmu sampai habis tenagaku, dan meninabobokanmu dengan usapan pelan di kepalamu.

Aku dan kamu sama-sama menatap. Tersenyum berdua sampai menimbulkan suara bising. Kamu mengajakku bangkit, pulang. Membiarkanku sunyi sendiri dengan perasaan yang tidak mudah ditebak.

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.