Dua bulan terakhir adalah masa-masa yang cukup berat bagi saya. Tekanan datang dari berbagai arah, waktu 24 jam terasa tak cukup, fisik dan mental terkuras, hingga ruang untuk menarik napas sejenak pun terasa tak ada.

Sejak bulan Agustus, saya menyadari bahwa saya harus mempersiapkan diri dengan energi yang lebih banyak untuk menyambut bulan-bulan terakhir pada tahun ini. Beberapa agenda penting sudah saya masukkan ke kalender. Saya tahu hari-hari akan terasa makin berat. Meski sudah mempersiapkan diri, tetap saja saat masa itu tiba saya kewalahan. Saya menemukan diri terjebak di antara sesaknya jadwal dan kegiatan yang tak memberi ruang untuk mengambil jeda.

Pada bulan September, di tengah jadwal kegiatan yang makin hari terasa makin tidak masuk akal, suatu musibah menimpa saya. Hari itu saya sudah beraktivitas dari pagi untuk melakukan audiensi dengan salah satu pejabat pemerintah terkait proyek pengabdian masyarakat yang sedang saya lakukan. Proses audiensi tersebut berlangsung cukup lama hingga sekitar pukul 13.45 WIB. Sementara itu, di kalender saya, sudah tertera jadwal rapat lainnya yang harus saya ikuti secara daring pada pukul 14.00. Saya mencoba mencari kafe terdekat, tetapi beberapa kafe yang hendak saya tuju ternyata ramai sehingga saya memutuskan untuk pulang ke rumah. Saya akhirnya bergabung terlebih dahulu dalam rapat melalui telepon genggam yang saya sambungkan dengan audio mobil. Saat itulah petaka datang. Saya kehilangan keseimbangan dalam mengemudikan mobil. Konsentrasi saya terpecah karena diskusi rapat yang dilakukan cukup alot. Ditambah lagi, jam makan siang sudah jauh terlewat dan saya belum memasukkan apa pun ke dalam perut saya. Jadilah, alih-alih menginjak rem untuk berhenti di lampu lalu lintas yang berwarna merah, kaki saya malah menginjak gas. Mobil yang berhenti di depan saya pun terkena imbasnya.

Saya merasakan benturan yang cukup keras. Kepala saya terbentur setir. Bagian depan mobil saya penyok hingga menyentuh bagian dalam kondensor. Bagian belakang mobil yang saya tabrak pun penyok cukup dalam. Sepersekian detik semuanya terasa seperti mimpi yang berlalu begitu cepat. Saya segera menarik rem tangan. Saya lekas mengatur napas dan segera turun dari mobil. Dari depan, sepasang suami istri paruh baya keluar dari mobil yang saya tabrak. Anehnya, saya masih bisa keluar dari mobil dengan tenang. Saya dengan cepat menguasai diri, meminta maaf, memberikan tanda pengenal dan nomor telepon, serta berjanji akan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap kesalahan saya.

Ternyata, sepasang suami istri tersebut sedang menuju ke salah satu rumah sakit di pusat kota karena memiliki janji temu dengan dokter. Saya pun berjanji akan mengikuti mereka dan menunggu hingga janji temu tersebut selesai dilakukan.

Saya membuntuti mereka ke rumah sakit. Setelah mobil diparkirkan dengan baik di depan rumah sakit, sambil menunggu mereka berobat, saya keluar mengecek kondisi mobil saya. Saat itulah saya menyadari betapa parah kerusakannya. Saya kembali ke dalam mobil dengan mengembuskan napas panjang dan berat. Dalam momen menunggu itu, secara perlahan pertahanan saya runtuh. Ketenangan saya berganti dengan air mata yang tanpa sadar jatuh begitu saja. Tangis saya pelan, tetapi makin mengencang dengan pasti. Tubuh saya berguncang hebat. Saya hanya bisa memeluk setir mobil dan menangisi kebodohan yang saya lakukan.

Bersambung ….

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.