Saya baru tiba di Semarang ketika Ibu meminta saya pulang. “Nenek katanya pengin tidur di pangkuan kamu,” ujar Ibu. Sehari sebelumnya, Ibu mengabarkan bahwa Nenek baru saja pulang dari rumah sakit. Dokter yang menangani Nenek sudah menyatakan ketidaksanggupannya. Umur Nenek tidak akan lama lagi, katanya. Kami tidak mengaminkan pernyataan tersebut meski setelahnya kami tetap mengikhlaskan alat-alat yang dipasang di tubuh Nenek dilepas.

Sehari setelah meminta saya pulang, Ibu kembali berkirim pesan disertai foto Nenek yang sedang terbaring di kasur berseprai putih. Tatapan kedua matanya begitu kosong. Kata Ibu, Nenek sudah tidak bisa bergerak sedikit pun. Pesan Ibu itu saya balas dengan foto yang menunjukkan bahwa saya sedang berkegiatan. Usai membalas pesan Ibu, sebetulnya pikiran saya berkelana ke masa lalu.

Saya mempunyai dua nenek: satu dari Ayah dan satu dari Ibu. Beberapa tahun belakangan, saya lebih banyak menghabiskan waktu bersama Nenek Wenot—begitulah saya menyebutnya. Ia adalah ibu Ayah. Sementara, nenek yang saya ceritakan pada dua paragraf awal ialah ibu Ibu. Saya kerap memanggilnya dengan Nenek Otih. Saya adalah cucu pertamanya.

Semasa sekolah, tepatnya pada rentang SMP—SMA, saya dititipkan kepada Nenek Otih lantaran Ayah dan Ibu sibuk bekerja. Beberapa wali kelas saya sempat mengira bahwa Nenek Otih adalah ibu saya karena mendianglah yang selalu mengambilkan rapor saya. Nenek selalu menjadi orang pertama yang tahu perkembangan saya di sekolah ketimbang kedua orang tua saya. Pagi-pagi buta, Nenek tidak pernah terlewat menyiapkan bekal untuk saya makan pada waktu istirahat sekolah. Justru saya yang kerap terlewat membawa atau menghabiskan bekalnya.

Dua bulan lalu, saya ke Tangerang. Rautnya masih begitu riang. Nenek menangis ketika saya hendak pamit. Dipeluknya saya begitu lekat. Saya berjanji akan mengunjunginya lagi bulan depannya. Namun, janji saya itu tidak berhasil mengembalikan raut riangnya yang saya jumpai sewaktu awal saya datang. Nenek tetap menangis. Tangisnya amat terbayang di sepanjang jalan Tangerang menuju Sentul.

Pada akhirnya, janji itu tidak pernah saya tepati sampai saya menerima kabar “kepulangan” Nenek sejam sebelum saya menaiki kereta api untuk pulang. KAI Bima menjadi saksi betapa menyesalnya saya mengingat pulangnya Nenek dari rumah sakit tidak membuat saya lekas-lekas pulang. Malam itu, pada perjalanan Yogyakarta menuju Jakarta, saya merasakan reruntuhan yang mungkin hanya bisa pahami oleh mereka yang pernah kehilangan.

 

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 5 / 5. Jumlah rating: 1

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.