Saya membiarkan diri saya menangis begitu saja tanpa penolakan. Sudah berminggu-minggu tangis itu saya tahan. Saya sadar yang saya tangisi bukan hanya petaka yang baru saja terjadi. Namun, lebih dari itu. Saya menangisi diri saya sendiri dan segala yang terjadi beberapa pekan terakhir.

Setelah cukup tenang, saya menelepon paman saya. Saya memanggilnya Makbi. Saya dan Makbi memang akrab. Ditambah lagi, kebetulan asuransi mobil saya diurus oleh beliau. Saat dering telepon berganti dengan suaranya, dada saya makin sesak dan tangis kembali meluncur begitu saja. Saya mencoba menceritakan hal yang terjadi secara urut. Beliau mencoba menenangkan saya dan meyakinkan bahwa petaka seperti ini adalah risiko berkendara di jalanan. Ia bisa terjadi begitu saja. Namun, sayangnya beliau terlalu mengenal saya. Ia tahu yang saya tangisi sebenarnya bukan hanya itu. Ia lalu berkata, “Istirahat makanya. Kamu itu manusia, bukan robot. Kalau kamu enggak mau berhenti sejenak, semesta yang akan menyuruh kamu melakukannya. Kayak sekarang.” Dalam hening dan dinginnya mobil, saya mengiyakan tanpa bersuara.

Setelah tangis saya cukup reda, Makbi meminta saya menelepon teman atau siapa saja yang bisa menemani saya. “Makbi tahu kamu bisa sendiri. Tapi, kali ini kamu harus ditemenin. Kamu lagi kalut. Nanti kalau kenapa-kenapa lagi kan berabe.” Saya yang tidak punya energi lagi untuk menolak pun akhirnya mengiyakan. Saya pun menelepon beberapa teman terdekat saya.

Salah satu dari mereka akhirnya datang dengan wajah panik. Ia langsung membuka pintu mobil dan menatap saya dari atas sampai bawah. “Kacau banget,” hanya itu yang keluar dari mulutnya. Tanpa banyak tanya, ia langsung mengajak saya keluar dari mobil untuk makan siang. Ia memesankan seporsi pempek lenggang dan air putih hangat untuk saya. Ia membiarkan saya menyantapnya dan menenangkan diri.

Tak lama setelah itu, sepasang suami istri yang mobilnya saya tabrak tadi menghubungi saya. Jadwal temu mereka dengan dokter telah selesai. Saya segera mengajak teman saya kembali ke area parkir untuk mendiskusikan perkara ganti rugi yang harus saya bayar kepada mereka.

Saya percaya sepasang suami istri itu sesungguhnya orang baik. Mereka menerima permintaan maaf saya. Namun, mereka menolak saat kami menawarkan mobil mereka untuk dibawa ke bengkel langganan kami. Mereka lebih memilih saya mengganti rugi dalam bentuk uang.

Negosiasi awalnya berjalan dengan baik karena hanya satu panel bagian belakang yang rusak. Namun, sang Ibu tiba-tiba ikut dalam negosiasi dan mengeluarkan jurusnya. Ia berkali-kali menekankan bahwa saya bisa saja dilaporkan kepada polisi jika ia ingin. Ia juga menyinggung betapa kecelakaan ini sangat membuat dirinya syok dan berpengaruh terhadap asam lambung yang dideritanya. Saya, yang sesungguhnya juga mengidap asam lambung, hanya bisa mendengus mendengarnya. Sang Ibu menaikkan harga ganti rugi hingga dua kali lipat dari yang awalnya disetujui. Teman saya, yang lebih banyak bernegosiasi, menolak halus permintaan itu dengan berbagai cara. Akan tetapi, sang Ibu tetap bersikeras dan terdengar makin menekan. Saya akhirnya menyerah. Saya mengiyakan harga yang ia minta. Saya melakukan transaksi dengan cepat dan segera mengajak teman saya pergi dari mereka.

Teman saya berdecak kesal karena saya mengiyakan. Baginya, harga ganti rugi itu tidak masuk akal dan terlampau tinggi—apa pun alasannya. Saya menghela napas panjang dan menjawab, “Ini bukan lagi masalah uangnya. Aku enggak kuat lagi mendengar celotehannya. Kondisi mentalku makin tersiksa mendengar apa pun yang keluar dari mulutnya. Uang bisa dicari, tapi kalau kondisi mentalku makin hancur, enggak ada yang bisa nyari gimana cara nyembuhinnya.” Teman saya terdiam dan memilih untuk tidak berdebat walaupun saya tahu betul ia tidak sepakat.

Pada malam hari menjelang tidur, saya merenungi semua yang terjadi hari itu. Saya mencoba kembali menguatkan diri. Saya berusaha memaafkan segala kebodohan saya. Saya berusaha meyakinkan diri bahwa sesungguhnya setiap permasalahan selalu sepaket dengan solusinya. Setiap kegelisahan selalu sepaket dengan ramuan ketenangannya. Dan, setiap kesedihan selalu sepaket dengan pelipurnya. Pun hari itu, saya berusaha untuk percaya bahwa segala yang terjadi dalam hidup saya sudah diatur dengan baik. Malam itu, dengan air mata yang masih menetes satu demi satu, saya berserah kepada Yang Maha atas Segala-galanya.

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.