Fatamorgana
Sore itu jalanan ramai. Tempat makan yang kita tuju sudah terlihat di pelupuk mata, tetapi raga kita tak kunjung memasukinya. Sementara itu, langit terlihat mendung dan embusan angin makin tidak bersahabat.
Kau duduk tenang di belakang kemudi. Hanya tersenyum sekilas kepadaku dan berkata, “Tumben, ya, macet.” Aku mengiyakan. “Macet kayaknya enggak cocok untuk kota kecil ini,” ujarku. Kau pun tertawa mendengar gerutuanku yang tak lucu.
Lagu “Easy on Me” yang disenandungkan Adele terdengar jelas dari radio mobil. Kurasa beberapa pekan ini hampir setiap saat mereka memutarkannya. Kau bersenandung mengikuti irama lagu dengan suara merdumu. Aku mengikuti senandungmu di dalam hati karena terlampau takut mengganggu harmonisasi suaramu dan Adele yang dengan sopan membius telingaku.
Tiga puluh menit kemudian kita sampai di tempat makan itu. Kau memintaku untuk memilihkan menu. Syaratnya hanya satu: harus pedas. Jadi, kupesankan menu yang sama untukku dan untukmu. Kita menyantap makanan dengan lahap. Di sela-selanya, kau mengajakku mengobrol tentang ini dan itu. Rasa lapar memang tidak bisa berdusta. Dalam sekejap, makanan di piringku dan piringmu habis tak bersisa.
Suasana di tempat makan makin ramai. Kau pun segera mengajakku keluar dari situ. Kau dan aku sepakat, kita tidak suka tempat ramai dan menyesakkan.
Di luar, rintik hujan mulai berjatuhan. Kau membukakan pintu untukku dan menahannya hingga tubuh mungilku sampai di bagian luar. Kau kemudian membuka jaketmu dan membentangkannya di atas kepala kita. Aku tertegun sejenak. Namun, kau segera mengajakku berlari ke mobil. Kau meminta maaf karena bajuku basah. Padahal, bajumu jauh lebih basah karena berfokus melindungiku dengan jaketmu.
Di dalam mobil, kau sibuk memberikanku tisu untuk mengelap bagian tubuhku yang terkena rintik hujan. Aku sudah berkali-kali berkata bahwa aku bisa melakukannya sendiri, tetapi kau bersikukuh ingin membantu. Aku menyerah dan membiarkanmu melakukannya. Aku akhirnya mengambil tisu yang lain kemudian mengelap wajah dan rambutmu yang basah.
Kau kemudian berkata, “Padahal, hujannya tidak begitu deras, tapi tetap basah, ya.” Aku mengangguk dan menimpali, “Memang mata terkadang bias oleh fatamorgana. Apa yang sampai menyentuh kita baru bisa disebut fakta. Menyentuh dalam bentuk apa pun.”
Kau lantas terdiam dan menatap lurus padaku. Aku segera memalingkan wajah menatap rintik hujan yang terlihat jelas jatuh menimpa kaca mobil, jalanan, dan semua yang ada di jangkauan penglihatanku. Kau menghela napas panjang dan menyenderkan badanmu ke kursi. Aku tahu kau ingin menimpali. Aku menunggu itu.
Satu menit. Lima menit. Lima belas menit. Tiga puluh menit.
Tidak ada satu kata pun yang lolos menjadi suara dari bibir kita. Hanya suara rintik hujan yang semakin deras terlihat oleh mata dan terdengar oleh telinga. Lantunan suara radio semakin terdengar jelas. Lagu “November Rain” yang dinyanyikan Guns N’ Roses sedang diputarkan.
Aku menggenggam kedua tanganku erat. Kau menundukkan kepalamu semakin dalam. Kita berdua tahu, maksudku bukan itu, ‘kan?
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.