Temu Sementara
Sebenarnya aku sedang tidak baik-baik saja. Sudah tiga hari aku sulit memejamkan mata, entah karena tidak mengantuk atau sengaja berlewah pikir.
Pagi tadi aku harus pergi menemui klien dari pemerintahan yang ingin dijelaskan tentang produk dan layanan secara langsung. Kalau tidak didampingi manajerku yang sudah paham betul seluk-beluk pengalaman pelatihan yang kami tawarkan, mungkin pertemuan tersebut tidak berjalan lancar. Aku harus berterima kasih.
Usai pertemuan, aku dan timku memilih berkumpul di sebuah kedai kopi untuk membahas strategi pemasaran kami. Mendapat target yang lumayan besar dan menjadi tonggak perusahaan terkadang merupakan kebanggaan tersendiri. Kalau ditanya kenapa, aku tidak tahu jawabannya.
Sore, sebelum rapat selesai, aku menghubungi seseorang. Aku mengajaknya bertemu sebentar. Lokasi kantornya tidak jauh dengan tempat aku dan timku berkumpul. Aku senang dia menerima ajakanku meski kami tidak hanya berdua. Aku meminta dia datang dengan sahabatku, teman sekantornya.
Dulu, kami satu kantor di salah satu bank syariah terbesar di Indonesia. Uraian tugasku berfokus pada bagian pendanaan, sedangkan dia pada bagian pembiayaan produktif tingkat atas. Kami sempat dekat meski tidak pernah bersepakat. Namun, dia selalu menjadi alasanku bersemangat mencari nasabah yang tepat. Tentu harus tepat karena selain kutawarkan pendanaan aku juga dapat menawarkan pembiayaan produktif kepada nasabah. Begitulah kami saling melengkapi waktu itu.
Lelaki itu datang sesuai janji. Bahunya menggendong tas yang sepertinya lumayan berat. Sahabatku ada di sampingnya.
“Sudah lama?” tanyanya seraya mengambil tempat duduk.
Aku menggeleng. “Belum lama. Baru saja ingin pesan. Mau pesan bersama?”
“Aku pesan fresh milk,” katanya.
“Aku pesan matcha latte,” kata Andika, sahabatku itu.
“Makanan sharing-nya takoyaki saja, ya?” Aku menawarkan makanan lebih dulu. Kemudian mereka mengangguk bersamaan.
Sejak aku memutuskan mengundurkan diri, aku dan lelaki ini tidak pernah bertemu. Badannya sedikit lebih kurus. Pada wajahnya, tumbuh bulu-bulu halus, tepatnya di area dagu. Dia terlihat lebih tampan dengan seragam kantor yang baru. Malam ini jadi sempurna. Rinduku tuntas dan lepas.
Perbincangan kami masih sekitar teman-teman kantor, pimpinan yang menyebalkan, penilaian pegawai yang kurang adil, dan bonus yang akan turun awal bulan depan. Aku menikmatinya bercerita, berpendapat, dan berkeluh sesekali.
“Bagaimana pekerjaanmu yang sekarang, Yas?” tanyanya tiba-tiba.
“Enak Tyas, mah. Teman kerjanya baik semua dan anak-anak muda. Tidak ada diskriminasi kalau salah pakai baju atau sepatu tidak sesuai. Iya, ‘kan?” Andika mewakiliku. Nyaris semua yang kulewati kuceritakan kepadanya. Dia sudah seperti kakakku sendiri.
“Sama, Mas. Pemasaran ‘kan pasti ada target, telepon klien, kunjungan juga. Memang yang sekarang lebih seru karena teman-teman kerjanya seumuran,” ujarku seraya tertawa sedikit.
Beberapa menit setelah itu, kami memastikan pesanan kami sudah habis. Aku pamit pulang. Mereka juga harus istirahat karena besok pagi akan ada rapat dengan pemimpin area. Aku juga sempat menitipkan salam untuk teman-teman kantor lama yang kusebutkan namanya satu per satu. Mereka berjanji akan menyampaikannya besok.
Pertemuan ini sempurna meski sementara. Aku yang hanya mendengar suaranya melalui telepon beberapa bulan terakhir ini akhirnya bertemu secara langsung. Aku bukan Tuhan yang bisa menghentikan waktu untuk mendengar ceritanya lebih banyak, tetapi aku ingin minta pada Tuhan untuk mempersatukan kami dalam cinta-Nya. Aku ingin mendengar ceritanya setiap hari, setiap malam, sampai aku tidak mengenal kata bosan.
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 5 / 5. Jumlah rating: 1
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.