Lari
Resi paling pandai berlari. Sejak kecil, ia tahu bahwa itu mungkin satu-satunya hal yang menonjol dari dirinya. Ia tak pandai melukis seperti adik perempuannya. Ia tak pandai bernyanyi seperti adik laki-lakinya. Ia juga tak pandai menari seperti kakak perempuannya. Resi tidak seperti mereka. Resi hanya pandai berlari.
Sebenarnya, belum ada seorang pun yang pernah memuji kemampuan berlarinya. Tapi, Resi tak peduli. Jauh di dalam lubuk hatinya, Resi sesungguhnya tak pernah bangga dengan kemampuan itu.
Resi kerap juara dalam berlari. Kemampuan itu makin hari makin meningkat dengan sendirinya tanpa ia berusaha. Ia tak pernah melatihnya. Ia tak pernah menginginkannya.
Resi kerap naik podium. Lari jarak berapa pun yang diperintahkan kepadanya pasti ia lakukan. Dan, Resi selalu jadi juara satu. Tidak pernah juara dua, apalagi juara tiga. Selalu juara satu. Tapi, orang-orang tak pernah mengelu-elukan namanya. Orang-orang juga tak pernah memedulikan kenyataan bahwa kakinya selalu menaiki podium paling tinggi itu.
Resi juga kerap berlari dengan mata tertutup. Baginya, cahaya bukanlah keharusan dalam berlari. Larinya justru akan makin kencang saat gelap gulita menguasainya. Kakinya seperti roda mobil dengan kecepatan 100 km/jam. Badannya seperti harimau yang meloncat menuju mangsanya. Napasnya seperti pergerakan waktu yang tak kenal jeda. Tapi, lagi-lagi, tak ada yang peduli. Tak ada yang benar-benar memahami kemampuan berlarinya.
Hari ini, tepat setelah turun dari podium untuk ribuan kalinya, Resi melangkahkan kakinya menembus kerumunan manusia yang berdiri menyaksikan pengukuhan para juara lomba lari tingkat provinsi. Resi berjalan di tengah keriuhan dan sorak-sorai penonton yang mengelukan nama para juara, kecuali namanya. Mereka tak pernah tahu namanya. Mereka tak pernah mau tahu. Resi tersenyum tipis. Matanya menatap lurus ke depan dengan sinis. Wajahnya seketika terlihat bengis.
Tepat saat raganya berada di tengah kerumunan yang makin menggila, Resi berhenti. Ia berputar 360 derajat melihat lautan manusia di sekelilingnya. Ia memejamkan matanya. Ia mengambil napas panjang—begitu panjang hingga rasanya setengah oksigen di sekitarnya ia ambil hanya untuk dirinya sendiri. Tepat ketika napas itu terkumpul dengan sempurna di dalam diafragmanya, ia berlari dengan kecepatan paling kencang yang pernah ia lakukan seumur hidupnya. Ia berlari dengan mata tertutup. Ia percayakan kakinya membawanya ke mana pun tempat yang layak bagi dirinya.
Kaki Resi nyatanya membawanya menuju lautan di ujung jalan. Kakinya terus mengajaknya berlari ke tengah lautan hingga tak lagi tampak sehelai pun rambut ikalnya yang menawan. Resi masuk ke dalam lautan yang dalam.
Sementara itu, di arena perlombaan, para juara dan ribuan manusia pendukungnya sedang menyanyikan lagu “Run” yang disenandungkan Collective Soul dengan riang gembira. Tak ada satu pun di antara mereka yang mendengar suara lari cepat seorang manusia yang berteriak menyerahkan dirinya pada lautan. Tak ada satu pun yang peduli—sama seperti hari-hari sebelumnya.
“Have I got a long way?
Have I got a long way to run?”
Have you, Resi?
Penulis: Shafira Deiktya Emte
Penyunting: Ivan Lanin
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 5 / 5. Jumlah rating: 1
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.