Bagaimana Jika ….
Beberapa hari lalu saya menonton What If…?, seri animasi pertama dari Marvel Studios. Sembilan episode di dalamnya menceritakan lini masa alternatif dari film-film Marvel yang sudah dirilis. Di sana Captain America yang bernama Steve Rogers tidak pernah ada. Sebagian anggota Avengers (nama kelompok adiwira Marvel), termasuk Iron Man dan Hulk, diceritakan meninggal. Kenyataan menjadi benar-benar berbeda. Saya pun tidak dapat menebak jalan cerita hingga menamatkan episode terakhirnya.
What If…? merupakan sebuah penggambaran dari teori multisemesta. Dalam ranah sains, teori tersebut mengartikan bahwa ada versi lain dari kehidupan yang kita jalani saat ini. Jika sekarang saya adalah seorang pegawai di Narabahasa, saya yang lain, di titik semesta yang berbeda, mungkin bekerja sebagai pilot, petani, atau bahkan presiden. Mungkin juga saya yang lain itu sudah meninggal bertahun-tahun yang lalu. Segalanya bisa saja terjadi.
Dalam What If…?, kemungkinan terjadinya cerita berbeda pada semesta lain itu dimulai dari hal-hal kecil. Misalnya, kesalahan penjemputan oleh pesawat Yondu menyebabkan T’Challa, alih-alih Peter Quill, menjadi Star-Lord. Jika mengikuti versi aslinya, T’Challa seharusnya tidak pernah dijemput oleh apa pun. Ketika dewasa, ia menjadi Black Panther dan raja di Wakanda. Namun, adanya pelintiran takdir membuat T’Challa berperan sebagai adiwira luar angkasa.
Topik tentang takdir yang menyimpang seperti itu sebetulnya sering menghampiri pikiran saya. Saya kerap berandai-andai, berkata-kata sendiri, “Bagaimana jika saya tidak memilih jalan yang seperti ini? Bagaimana jika, pada masa lampau, saya berbelok atau berputar arah sehingga sesuatu yang lain terjadi?” Mungkin sekarang saya tidak mengetik tulisan swalatih ini. Barangkali saat ini saya sedang meneliti suatu fenomena alam semesta atau menemukan teori fisika baru di sebuah laboratorium di Swiss, Jerman, atau Amerika Serikat. Hal itu bisa saja terjadi karena saya amat menggilai fisika ketika SD dan SMP. Bahkan, ketika kelas satu SMP, seorang guru fisika pernah memberikan soal tantangan kepada seluruh murid di kelas. Ia menantang para bocah yang baru lulus SD itu untuk mengerjakan soal kelas sembilan (kelas tiga SMP). Dengan cara yang entah bagaimana—saya juga sudah lupasaya dapat menyelesaikan tantangan tersebut. Jawaban saya hanya berbeda nol koma sekian.
Secara diam-diam, sejak saat itu, rupanya Ibu Guru mulai memperhatikan saya. Sebulan atau dua bulan kemudian saya dipilih untuk mengikuti lomba fisika bersama anak-anak lain yang juga unggul dalam bidang tersebut. Meskipun tidak berhasil memenangi lomba itu, saya tidak patah semangat untuk mendalami fisika.
Semangat yang bertahan cukup lama itu roboh ketika saya SMA. Guru fisika saya pada kelas sepuluh sama sekali tidak menyenangkan. Ia membuat pelajaran yang asyik itu menjadi sekadar teori memusingkan. Pada akhirnya, nilai fisika saya jatuh. Sementara itu, beberapa teman saya justru mencetak nilai baik. Belakangan saya tahu bahwa yang membuat mereka mampu memahami fisika bukanlah guru tadi, melainkan lembaga bimbel (bimbingan belajar) yang mereka ikuti. Saya juga akhirnya mengerti bahwa itu tidak terlepas dari faktor ekonomi. Hanya anak-anak dari kalangan berpunyalah yang dapat mengikuti les.
Saya kemudian berpikir. Bagaimana jika guru saya itu menyenangkan dan saya dapat belajar fisika dengan baik? Apakah saya kini menjadi fisikawan? Ah, sepertinya tidak ada yang tidak mungkin dalam kesemestaan ini.
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.