Bahagia Itu Pilihan
Setiap Rabu saya bangun tidur dengan keadaan kurang bersemangat. Bagaimana tidak, mata kuliah pertama saya dimulai pada pukul delapan pagi dan dosennya membosankan. Mood beliau sering kali berganti dengan cepat sehingga kami sebagai mahasiswa selalu menebak-nebak emosi apa yang akan beliau tunjukkan. Awalnya, kami cukup terkejut melihat betapa mudahnya mood beliau berubah. Kurang lebih perubahannya seperti ini: pagi hari beliau menyambut kami dengan suka cita, lalu satu jam kemudian tiba-tiba beliau mengomel dan menegur kelompok yang presentasi hari itu dengan nada tinggi karena paparan mereka dianggap tidak lengkap. Ketika anggota kelompok tersebut hendak menyanggah karena sebetulnya paparan mereka sudah lengkap, beliau lanjut mengomel selama beberapa menit. Lalu, tiba-tiba seperti tidak terjadi apa-apa, raut wajah beliau menjadi cerah kembali. Duh, membingungkan sekali.
Kemarin saya baru saja masuk ke kelas beliau. Seperti biasa, saya dan teman-teman sudah wanti-wanti terhadap emosi apa yang akan beliau tunjukkan hari ini. Namun, ajaib sekali, beliau sangat kalem sepanjang kelas. Wajahnya berseri dan tidak ada nada tinggi yang menghiasi kelas kemarin. Saya dan teman sekelompok saya bertanya-tanya di grup WhatsApp untuk memastikan bahwa beliau adalah dosen yang biasa mengajar kelas tersebut. “Lagi menang undian kali, makanya seneng terus,” celetuk salah satu teman kelompok saya. “Heh, ngarang,” balas saya.
Kebetulan sekali topik pembahasan kemarin memang tentang emosi. Mata kuliah yang saya ambil bernama Perilaku Konsumen (Consumer Behavior). Dalam matkul ini, saya mempelajari proses pengambilan keputusan konsumen ketika membeli sebuah produk atau menggunakan jasa, hubungan antara nilai dan budaya dengan preferensi mereka ketika membeli suatu barang, emosi dasar manusia dan kaitannya ketika membuat promosi, dll. Secara spesifik, kemarin kami membahas mengenai emosi yang muncul dalam sebuah iklan. Ternyata sebuah iklan bisa mengandung beragam emosi yang terbagi atas tiga kelompok, yaitu recommendation cluster, attention cluster, dan advocacy cluster.
Saat pertengahan materi, dosen saya berkata, “Pada materi ini kita bermain dengan pikiran. Ambil contoh, rasa bahagia. Bahagia itu kita sendiri yang menciptakan, bukan orang lain. Selain itu, bahagia juga pilihan. Ketika dihadapkan pada sesuatu, kamu bisa memilih mau tetap bahagia atau merasakan emosi lain,” jelas dosen saya.
Saya langsung tertegun ketika mendengar kata-kata beliau. Betul juga. Bahagia itu bergantung pada cara kita memersepsikan suatu kondisi. Selama ini, saya malas datang ke kelas setiap Rabu pagi karena pikiran saya sudah membentuk persepsi malas. Semenjak kelas kemarin, saya memantapkan hati untuk mengubah persepsi saya karena sesungguhnya cara kita melihat suatu kondisi sangat bergantung kepada pola pikir kita.
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.