Sempat terjadi perselisihan pendapat di lini masa media sosial saya beberapa hari yang lalu. Dua orang yang terlibat merupakan teman saya, diaspora Indonesia di Jepang. Sebut saja Fajar dan Senja. Masalah berawal dari unggahan Senja mengenai ketidaknyamanan yang ia alami di fasilitas publik akibat tingkah diaspora Indonesia dari salah satu suku. Ia mengeluhkan sering kali mereka hadir dengan pakaian yang kurang rapi dan berisik ketika berbincang dengan teman, lengkap dengan logat daerah yang kental. Pemicu dari perselisihan ini adalah karena Senja menyebutkan suku tersebut dengan istilah yang kerap digunakan sebagai stereotip buruk.

Fajar yang lahir sebagai keturunan asli suku yang Senja sebut dan berprofesi sebagai pekerja kerah biru merasa keberatan dengan pendapat yang diutarakan Senja. Menurut Fajar, hal tersebut adalah hal yang wajar karena mereka datang sebagai rekrutan lembaga pelatihan kerja dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka datang untuk mencari nafkah, bukan untuk menempuh pendidikan tinggi atau berwisata. Sebabnya, mereka masih bertutur kata dengan logat daerah dan perlu beradaptasi dengan gaya berpakaian di lingkungan baru. Fajar dan Senja memiliki pekerjaan dan kondisi ekonomi yang berbeda. Perbedaan tersebut melatarbelakangi adu balasan tak terelakkan di lini masa saya karena Senja cukup defensif terhadap argumen yang kontra dengannya. Menurutnya, ia sekadar menyampaikan keresahan.

Tentu bukan hanya Fajar yang tersinggung dengan pendapat Senja. Satu blunder di media sosial ibarat bola liar yang bisa memantul ke mana saja. Unggahan Senja semakin ramai dengan perdebatan. Jujur saja, saya juga geram dengan pendapat dan cara Senja merespons umpan balik atas opininya. Saya teringat akan ayah saya yang sempat bekerja sebagai buruh pabrik di Niigata, Jepang. Beliau juga tak memiliki pelafalan yang baik saat berbicara, bahkan ketika berbicara dengan bahasa Indonesia. Akan tetapi, saya tak ingin hubungan saya dengan kedua teman saya menjadi rumit. Itu sebabnya saya memutuskan untuk menahan diri dan menjauh dari keributan.

Meski begitu, saya sempat berbincang dengan Fajar setelah perdebatan mulai padam. Fajar menjelaskan bahwa ia hanya tak ingin Senja melanggengkan stereotip tentang sukunya dan pekerja kerah biru. Saya paham, banyak orang tak mengerti rasanya mendongak karena selalu berdiri di atas menara gading. Fajar menanggapi dengan santai dan berkata bahwa ucapan saya tak hanya menyentil dia yang berdiri di atas menara, tetapi juga menyentil dirinya yang masih terus mendongak. Tanggapan Fajar membuat saya berpikir, selama ini saya juga masih mendongak ke arah atas, ke arah mereka yang lebih tinggi. Saya justru penasaran, bagaimana rasanya berada di posisi yang lebih tinggi hingga berkelakuan seperti berdiri di atas menara gading? Semoga kelak meski saya tak lagi sering mendongak, saya tak menyakiti hati mereka yang berada di bawah saya hanya karena satu keresahan yang lebih baik disimpan sendiri.

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 5 / 5. Jumlah rating: 1

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.