Berebut Makan
Waktu saya masih kecil, Ayah hampir selalu pulang lebih cepat tiap Jumat. Kami menanti kedatangan beliau karena menunggu nasi bungkus yang dibeli dari warung Padang di dekat kantor Ayah. Saya pernah mengunjungi warung itu ketika diajak Ayah mampir ke kantornya. Saya sebut “warung” karena tempat itu kecil, sumpek, dan kumuh, tetapi aroma masakan yang mengambang pekat di sana sangat menggoda. Ketika dibawa Ayah makan siang di sana, dalam sekejap baju saya bersimbah peluh. Namun, saya tetap makan dengan nikmat.
Biasanya Ayah hanya membawa pulang sebungkus nasi. Bungkusan itu kemudian kami hamparkan di atas baki. Kala itu saya selalu takjub melihat betapa bungkus yang mungil itu dapat memuat banyak sekali nasi, sayur, dan lauknya. Nasi putih itu sudah diguyur kuah gulai kuning dan kuah rendang cokelat tua hampir mendekati hitam. Kami dengan penasaran akan mengais gundukan nasi serta timbunan sayur nangka dan daun singkong untuk menemukan lauk pilihan Ayah pekan itu. Lauk yang sering beliau beli ialah cincang sapi, rendang, ayam gulai, dan dendeng kering. Telur balado atau perkedel juga acap kami temukan dalam perburuan harta karun di tumpukan nasi itu.
Talam yang berisi hamparan nasi bungkus itu kami letakkan di lantai. Ayah, Ibu, saya, dan tiga adik saya duduk bersimpuh mengelilinginya dan makan bersama. Biasanya kami berhasil melakukan ritual itu dengan damai meski diiringi peluh yang bercucuran karena panas dan pedas. Namun, tak jarang muncul drama perebutan lauk yang berakhir dengan tangisan salah seorang anak. Yang paling sering menangis karena perebutan itu ialah adik bungsu saya, anak perempuan semata wayang.
Betapa pun banyaknya, satu bungkus nasi itu tidak cukup untuk kami, apalagi setelah saya dan adik-adik makin besar dan rakus. Ibu sudah menyiapkan nasi dan lauk tambahan yang kami ambil sedikit-sedikit. Tampaknya, tambahannya jauh lebih banyak daripada pokoknya. Nasi tambahan yang kami berikan bisa lebih dari tiga piring. Setelah selesai makan, kami semua terkapar kekenyangan.
Pada suatu Jumat, Ayah pulang tanpa nasi bungkus. Warung Padang itu digusur seiring dengan renovasi kantor Ayah. Ritual berebut makan kami pun usai.
***
Beberapa hari yang lalu, saya mampir di sebuah restoran Padang untuk membeli dan membawa pulang nasi bungkus. Ketika saya sedang membayar pesanan, seorang laki-laki paruh baya berseragam pegawai negeri masuk sambil menenteng helm.
“Da, bungkuih ciek,” katanya. “Agiah kuah nan banyak, yo.”
Sejenak saya membeku. Saya teringat dengan Ayah yang baru saja wafat beberapa waktu yang lalu. Saya rindu berebut makan dengan Ayah.
Catatan:
Da = Uda (kakak laki-laki); bungkuih = bungkus; ciek = satu; agiah = beri.
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 5 / 5. Jumlah rating: 4
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.