“Aku sedang dekat dengan Tante Bulan,” kata Papa pada suatu malam, medio 2017. Semua anak dan menantu di meja makan itu terdiam. Raut muka Mbak, kakak tertua istri saya, berubah drastis. Istri saya, Nanda, dan Adek, si bungsu, tidak tampak terkejut.

Mama wafat pada akhir 2016 karena kanker. Sejak itu, saya secara rutin menemani Nanda untuk mengunjungi Papa yang tinggal sendiri. Tadinya, kami ingin kembali tinggal bersama Papa, tetapi beliau menolak. Meski sudah berusia 71 tahun ketika itu, Papa sangat mandiri dan masih aktif berkegiatan. Akhirnya, kami memutuskan untuk datang minimal seminggu sekali ke rumah Papa.

Malam itu, Papa mengundang kami secara resmi. “Papa mau ngobrol,” kata beliau melalui pesan WhatsApp di grup keluarga. Sebagai mantan pejabat, beliau memang kadang masih berlaku resmi seperti itu. Obrolan pun dilakukan seperti rapat sidang kabinet walau mejanya hanya meja makan keluarga.

Pada pertemuan malam itu, Papa menyampaikan niat beliau untuk menikah lagi dengan Biyang, panggilan akrab Tante Bulan. Kata biyang dalam bahasa Bali berarti ‘ibu’. Pada awalnya, Mbak tidak menerima putusan Papa. Namun, pelan-pelan Mbak akhirnya dapat memahami bahwa Papa perlu teman untuk mendampingi beliau dalam keseharian.

Keluarga istri saya sudah kenal lama dengan Biyang dan anak-anaknya. Menurut istri saya, dia sudah bermain dengan anak-anak Biyang sejak SMP meski tidak terlalu sering bertemu. Hubungan Mama dan Biyang pun cukup akrab. Biyang beberapa kali menghadiri acara yang diadakan Mama.

Pada peringatan Hari Kartini 2018, Papa menikah dengan Biyang. Anak, mantu, dan cucu keduanya menjadi panitia acara tersebut. Kami ikhlas atas perjodohan dua sejoli yang usianya hanya terpaut dua tahun itu.

Pesta perkawinan berlangsung sederhana, tetapi meriah. Pada usia 70 tahun, Biyang tampil menawan dengan baju pengantin berwarna putih yang seragam dengan Papa. Pakaian hijau pupus yang kami kenakan tampak berpadu indah dengan mereka pada foto kenangan bersama pesta. Dua keluarga besar menyatu.

Peralihan 2018 ke 2019 kami rayakan bersama di Bali. Anak cucu Papa dan Biyang berkumpul mengunjungi rumah keluarga Biyang di daerah Kintamani. Sebagai keturunan bangsawan Bali, keluarga Biyang cukup dihormati di sana. Apalagi, sebagai penari, Biyang turut mengharumkan nama Pulau Dewata melalui tarian sejak beliau berusia tujuh tahun.

Selain di Bali, Biyang juga punya rumah di daerah Dago Pakar, Bandung. Bandung merupakan kota tempat Biyang berpraktik dan mengajar sebagai dokter spesialis THT (telinga, hidung, dan tenggorokan). Pada 2019, kami beberapa kali berkunjung ke Kota Kembang sambil bernostalgia dengan kota tempat saya dan Nanda menempuh pendidikan sarjana ini.

Pada 2020, badai pandemi melanda dunia. Semua kegiatan yang biasanya memerlukan pertemuan fisik dibatasi, termasuk kegiatan sanggar tari Bali yang dimiliki Biyang. Untungnya, saat itu Biyang memang sudah membatasi aktivitas mengajarnya. Biyang memilih untuk dapat lebih menikmati masa tua bersama Papa.

Biyang mengabari kami tentang kanker yang dideritanya pada November 2020. Kami duga beliau sebenarnya merahasiakan penyakit itu sebelumnya. Biyang pun mulai menjalani kemoterapi, tetapi penyebaran kankernya sudah luas.

Lepas tengah malam pada 24 Februari 2020, saya masih mengerjakan materi kelas. Pesan WhatsApp dari Papa masuk. Biyang wafat pada pukul 00.30. Selamat jalan, Biyang. Teruslah menari di surga.

 

Penulis: Ivan Lanin

Penyunting: Harrits Rizqi

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 5 / 5. Jumlah rating: 3

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.