Episode 1: Kala
Kereta ke arah Jakarta Kota tertahan sebelum masuk Manggarai. Kira-kira sudah hampir lima menit ini. Aku tahu karena lagu “The Scientist” yang kudengarkan sebentar lagi habis. Dan, ketika lagu itu baru saja selesai, kereta kembali berjalan. Bayi di sampingku yang menangis sejak kereta berhenti kini berangsur diam. Sementara itu, orang-orang mulai bergeser ke pintu sebelah kiri. Rupanya cukup banyak yang akan turun di Manggarai.
Aku sendiri hendak turun di Cikini. Ada bedah buku yang ingin aku ikuti. Tempatnya di kafe … kafe … kafe apa, ya? Tiba-tiba aku lupa, padahal namanya singkat saja. Sebentar, ya. Aku lihat di ponselku.
Ah, iya! Namanya KeKini. Sebelum ini, aku pernah datang ke sana sekali. Jadi, aku sudah tahu bahwa jaraknya cukup jauh dari Stasiun Cikini.
Tadinya aku berniat jalan kaki dari stasiun. Selain karena ingin berolahraga kecil, aku juga mau mencoba trotoar baru. Kabarnya trotoar sepanjang Cikini sudah diperbaiki.
Namun, sewaktu turun dari kereta, jam tanganku menunjukkan pukul 16.10. Aku sudah terlambat lebih dari tiga puluh menit. Jadilah aku bergegas ke lantai dasar stasiun dan segera memesan ojek daring.
Dan, benar saja, setibanya di KeKini, aku melihat banyak orang sudah berkumpul. Ketika membuka pintu, sebagian dari mereka melihatku. Aku lekas memalingkan wajah karena malu. Pintu pun kututup. Aku cepat-cepat mencari tempat.
Karena datang terlambat, aku harus rela duduk di pojok belakang. Mungkin hal seperti itu tidak akan terjadi kalau motorku bisa digunakan. Sayang sekali, sudah dua hari ia tidak mau bergerak. Aku sendiri juga belum sempat membawanya ke bengkel.
Sambil agak menyesali keterlambatan, aku berusaha menyimak pembahasan. Si pembedah memaparkan poin-poin dari tiap bab dalam buku. Ia memperkaya penjelasan dengan hasil studinya. Gaya bicaranya yang nyentrik membuat orang-orang yang datang tidak mampu mengalihkan pandangan darinya. Seru sekali bedah buku sejarah kali ini.
Semua mata tertuju pada si pembedah hingga seseorang datang. Kemunculannya mencuri perhatian karena ia membuka pintu dengan agak kasar. Ia juga terengah-engah seperti habis berlari.
Sama sepertiku ketika baru datang tadi, ia lekas mencari tempat pula. Matanya menyisir tiap sudut yang mungkin didatanginya. Ia melihat ke arahku dan akhirnya duduk di sampingku. Kebetulan sebelahku memang kosong.
Karena kami berdekatan, sesekali aku meliriknya. Tangannya memeluk kedua lutut. Wajahnya menghadap ke depan dengan fokus. Kadang ia tertawa kecil ketika si pembedah buku berceletuk hal-hal lucu. Sesekali pula aku membatin, “Siapa namanya?”
Keadaan seperti itu berlangsung hingga acara selesai. Pada akhirnya, aku sangat senang karena banyak pengetahuan yang kudapat dari acara ini. Buku yang dibahas amat menarik minatku untuk membeli dan membacanya. Si pembedah pun membuatku kagum. Aku ingin sekali berfoto dengannya.
Sebelum mengajak si pembedah untuk berfoto, aku teringat akan orang yang duduk di sampingku tadi. Ia sudah tidak ada. Mungkin ia sudah pulang. Tak kulihat lagi batang hidungnya dalam ruangan.
Lalu aku melihat ke arah bawah untuk mengambil ponsel dari tas gantungku. Samar-samar kulihat ada semacam kartu nama tergeletak begitu saja. Barangkali itu milik orang yang duduk di sampingku tadi.
Setelah kuambil dan kulihat benda itu, aku membatin, “Kini aku tahu siapa namanya.”
Bersambung ke “Episode 2: Kenanga”
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 4.8 / 5. Jumlah rating: 5
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.