Episode 2: Kenanga
“Kenanga! Kamu nggak jadi ke acara itu?”
Ibu membangunkanku ketika aku sudah tertidur sekitar dua jam. Ketika bangun, kepalaku terasa kosong untuk beberapa saat. Barulah kemudian aku sadar bahwa acara bedah buku itu akan dimulai tiga puluh menit lagi. Ya Tuhan, aku pasti terlambat.
Buru-buru aku mandi dan berganti pakaian. Untunglah barang-barang yang kuperlukan sudah aku masukkan ke dalam tas, termasuk baju Maria yang aku pinjam sepekan lalu.
Oh, iya! Aku baru ingat. Aku harus bertemu Maria di Taman Ismail Marzuki (TIM), di depan bioskop. Mesti cepat-cepat aku kalau begini.
Dan, seperti yang kuduga sebelumnya, perjalanan dari Pasar Minggu ke Cikini tidak pernah sebentar, bahkan ketika aku naik sepeda motor. Meski begitu, laju motor tetap aku kencangkan sebisanya hingga aku sampai di TIM.
Dari tempat parkir, aku segera menuju depan bioskop. Maria tak kulihat di sana. Aku pun mencoba meneleponnya, tetapi tidak diangkat. Berkali-kali sudah dan tetap tidak ada jawaban. Akhirnya, kuputuskan untuk ke KeKini, tempat bedah buku.
Untuk ke sana, aku sebenarnya bisa naik sepeda motor. Namun, waktunya akan lebih lama jika dibandingkan dengan berjalan kaki. Sebabnya, jalan depan TIM itu satu arah. Kalau ke KeKini, aku harus memutar. Oleh karena itu, aku berjalan setengah berlari ke sana.
Ketika aku membuka pintu KeKini, semua orang melihatku, termasuk si pembedah buku. Rupanya aku membuka dengan agak keras. Pintu berderit memecah suasana. Rasa maluku kuhadapi dengan segera mencari tempat duduk.
Karena terlambat, aku dapat tempat di belakang, dekat seseorang berkaus hitam. Aku menganggukkan kepala kepadanya sebagai tanda memohon izin untuk duduk di situ. Ia mengangguk balik.
Aku pun lekas larut dalam suasana acara. Si pembedah berulang kali melempar celetuk lucu. Aku tertawa kecil terhadap semua celetuknya itu. Rasanya benar-benar menyenangkan. Bukan wawasan soal sejarah saja yang aku dapat, melainkan juga kesenangan batin yang belakangan ini tak aku dapatkan.
Saking serunya, tak terasa bedah buku itu selesai. Nah, tepat setelah pembawa acara menutup dengan salam, ponselku bergetar. Maria mengirim pesan. Katanya, ia sudah di toko buku POST, Kebayoran Baru.
Walaupun sebenarnya ingin berfoto dengan si pembedah buku, aku memilih untuk segera pergi ke POST karena Maria bilang pemilik toko itu mau bertemu denganku. Jadi, aku berjalan lagi ke TIM untuk mengambil sepeda motor sambil berkata dalam hati, “Aku siap menghadapi jalanan Jakarta lagi.”
Bersambung ke “Episode III: POST”
Penulis: Harrits Rizqi
Penyunting: Dessy Irawan
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.