Pekan lalu, saya baru saja menyelesaikan target kedua, yaitu menyelesaikan sidang TKA. Hari itu terasa campur aduk: berawal dari rasa takut sampai saya merasa ingin sekali segera melewatinya. Saat sidang itu dimulai, perasaan saya berkecamuk dalam satu detik: takut, berani, senang—semuanya saya rasakan. Ketika sidang itu telah selesai, saya merasa lega. Saya merasa seolah-olah apa yang ada di otak saya beserta beban-bebannya keluar begitu saja seperti air yang mengalir di sungai yang tenang. Ternyata saya bisa melewati hal itu. Saya bangga dengan diri sendiri—diri yang telah berjuang selama berbulan-bulan dalam prosesnya. Hasilnya tidak mengkhianati.

Lancarnya semua yang telah saya kerjakan dan saya jalani  juga berkat bantuan orang-orang di sekitar saya. Terima kasih untuk teman-teman yang telah mendukung mulai dari titik ketika saya ingin menyerah sampai akhirnya saya berhasil menyelesaikan tugas tersebut. Tidak lupa juga, untuk orang-orang sekitar yang mendorong, mengajarkan hal yang harus saya kuasai, dan memberi semangat sehingga saya bisa sampai di titik tenang ini: bahagia yang tidak bisa terdefinisikan lagi oleh kata-kata.

Singkat cerita, hari itu adalah hari bahagia saya. Ketika saya menyelesaikan sidang tersebut, dua orang teman saya datang secara langsung untuk ikut merayakan keberhasilan saya. Saya tidak menyangka teman saya akan datang menghampiri saya di hari bahagia ini. Ucapan selamat pun bertebar di mana-mana. Tentunya saya sangat senang. Seharian penuh saya berkumpul bersama teman-teman dan dengan penuh semangat saya menceritakan pengalaman pagi itu.

Di balik keberhasilan ini, ada dua orang teman yang mendukung saya tanpa henti. Saya akan menceritakan secara singkat tentang kedua teman hidup semasa kuliah yang sampai kini selalu membantu saya dalam hal apa pun.

Teman pertama saya itu bernama Gaby. Ia seorang teman yang memiliki karakter unik. Ia tidak suka basa-basi, selalu terlihat cuek, dan seolah tidak peduli. Namun, nyatanya ia diam-diam selalu memerhatikan. Ia baik dalam hal apa pun—walaupun setiap kali saya bercerita ia selalu memicu konflik. Ia seperti kucing liar: kalau tidak dijinakkan akan terus bertingkah agresif atau bahkan pemarah. Semua sikapnya memang terlihat buruk, tetapi tindakan dan ucapan yang ia lontarkan itu justru membuat saya sadar akan segala hal. Perilaku baiknya tidak diperlihatkan secara terang-terangan, tetapi karena dirinyalah saya selalu bisa kuat untuk menjalani sebuah hidup.

Teman kedua saya bernama Alsa. Ia seorang teman yang mempunyai kemampuan serbabisa. Selain multi-talenta, ia juga selalu kuat dalam menghadapi masalah yang ia lalui. Hal yang mengejutkan dari seorang Alsa adalah ketika ia ingin memberi sesuatu untuk seseorang. Ia akan memancing dengan kode-kode mainstream, seperti, “Ada buku yang pengin lo baca nggak, Bel?” Saat itu saya tidak tahu kenapa Alsa bertanya acak seperti itu. Karena saya tidak ingin tahu alasannya, saya langsung saja menjawab, “Gue lagi pengin baca buku I Want To Die But I Want To Eat Tteokpokki, Sa. Bukunya bagus, tapi belum sempat baca karena belum sempat ke Gramedia lagi,” ucap saya dua hari sebelum sidang. Tidak disangka, pada hari itu ternyata Alsa datang dengan memberi sebuah bingkisan untuk saya. Saat saya buka ternyata itu buku yang saya inginkan dari dulu. Perasaan senang berkali lipat rasanya. Dua teman saya yang memberikan kasih sayang berbeda datang pada waktu yang sama. Hari itu seperti hidup yang dipenuhi warna.

Terima kasih. Saya bersyukur semua orang pada hari itu membuat saya bahagia dan tertawa lepas. Semoga kita selalu diberi kebahagiaan yang cukup untuk hari-hari selanjutnya.

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.